Wednesday, 1 March 2017

IBNU RUSYD & PEMIKIRANNYA



IBNU RUSYD & PEMIKIRANNYA

1. PENDAHULUAN
Filsafat dalam Islam berkembang melalui beberapa fase. Pada fase pertama yang dilakukan ialah penerjemahan bagian-bagian yang menarik dari filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-buku ke bahasa Arab secara sistematis terjadi pada fase kedua dan berkembang pada masa Khalifah Al-Ma’mun (813-833 Masehi).[1]
Pada fase ketiga muncullah filsuf-filsuf seperti berikut ini :
a.      Al-Kindi (801-873 Masehi) dengan teori perdamaiannya antara wahyu dan akal dan antara agama dan filsafat.
b.      Al-Farabi (870-950 Masehi) dengan teori penciptaan alam oleh Tuhan melalui emanasi dan teori kenabiannya.
c.      Ibnu Sina (980-1073 Masehi) dengan teori ruh yang perlu bersatu dengan tubuh manusia untuk mencapai kesempurnaan.
d.      Al-Ghazali (1058-1111 Masehi) dengan kritik pedasnya terhadap kaum filsuf seperti diuraikan dalam Tahafut al-Falasifah.
e.      Ibnu Miskawaih (wafat 1030 Masehi) dengan filsafat akhlaknya.
f.       Ibnu Bajjah (wafat 1138 Masehi) dengan teorinya bahwa manusia dengan menyendiri dan meditasi dapat sampai pada kebenaran seperti dijelaskan dalam buku Tadbir al-Mutawahhid.
g.      Ibnu Thufail (wafat 1185 Masehi) yang menggambar dan menjelaskan teori Ibnu Bajjah dalam Hayy bin Yaqzhan.
h.      Ibnu Rusyd (1126 – 1198 Masehi) dengan pembelaannya terhadap kaum filsuf dengan membawa argumen-argumen Al-Qur’an seperti diuraikan dalam Tahafut al-Tahafut.[2]
Adapun yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah tentang tinjauan Ibnu Rusyd dan pemikirannya.
2. BIOGRAFI IBNU RUSYD
Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah  Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd. Beliau dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510H/1126M.[3] Ayah dan kakeknya merupakan pencinta ilmu dan ulama yang cukup disegani di Spanyol. Ayahnya yang bernama Ahmad Ibnu Muhammad (487-563 H) merupakan seorang faqih (ahli hukum Islam) dan pernah menjadi hakim di Cordova. Sementara kakeknya, Muhammad bin Ahmad (wafat 520 H-1126 M) merupakan ahli fiqh madzhab Maliki dan imam masjid Cordova serta pernah menjabat sebagai hakim agung di Spanyol. Sebagaimana ayah dan kakeknya, Ibnu Rusyd juga pernah menjadi hakim agung di Spanyol.
Pendidikan yang dienyam oleh Ibnu Rusyd diawali dari belajar Al-Qur’an di rumahnya sendiri dengan ayahnya. Kemudian beliau belajar dasar-dasar ilmu keislaman seperti Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, Ilmu Kalam, Bahasa Arab dan Sastra. Dalam ilmu Fiqh ia belajar dan menguasai kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik.
Selain kepada ayahnya sendiri, ia juga belajar kepada Abu Muhammad bin Rizq dalam disiplin ilmu perbandingan hukum Islam (fiqh ikhtilaf) dan kepada Ibn Basykual di bidang hadits. Dalam bidang ilmu kedokteran dan filsafat ia belajar kepada Abu Ja’far Harun al-Tardjalli (berasal dari Trujillo). Selain itu gurunya yang berjasa dalam bidang kedokteran adalah Ibn Zhuhr.[4]
Di usia 18 tahun, Ibnu Rusyd bepergian ke Maroko, di mana doa belajar kepada Ibnu Thufail. Dalam ilmu Tauhid beliau berpegang pada paham Asy’ariyah dan ini membukakan jalan baginya untuk mempelajari ilmu filsafat. Ringkasnya, Ibnu Rusyd adalah seorang tokoh filsafat, agama, syariat dan kedokteran yang terkenal pada waktu itu.[5]
Salah satu hal yang sangat mengagumkan di dalam diri Ibnu Rusyd, adalah hampir seluruh  hidupnya dipergunakan untuk belajar dan membaca. Menurut Ibnu Abrar, walaupun rasanya terlalu berlebihan,  sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan berpikir dan membaca,  kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam pernikahannya.[6]
Awalnya Ibnu Rusyd memperoleh kedudukan yang baik dari Khalifah Abu Yusuf Al-Mansur (masa kekuasaannya 1148 – 1194 M), sehingga pada waktu itu Ibnu Rusyd menjadi raja semua pikiran, tidak ada pendapat kecuali pendapatnya. Akan tetapi keadaan tersebut segera berubah karena ia diasingkan oleh Al-Mansur dan dikurung di suatu kampung Yahudi sebagai akibat tuduhan bahwa Ibnu Rusyd telah keluar dari Islam yang dilancarkan kelompok penentang filsafat, yaitu para fuqaha di masanya.
Setelah beberapa orang terkemuka dapat meyakinkan Al-Mansur tentang kebersihan Ibnu Rusyd dari tuduhan tersebut, Ibnu Rusyd dapat menghirup udara bebas. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, karena muncul kembali tuduhan yang dilemparkan lagi pada dirinya, dan sebagai akibatnya ia diasingkan ke Maroko, buku-buku karangannya di bakar dan ilmu filsafat tidak boleh lagi dipelajari. Sejak saat itu murid-muridnya bubar dan tidak berani lagi menyebut-nyebut namanya.[7]

Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini tidak berlangsung lama (satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali.  Namun, Ibnu Rusyd tidak lama menikmati keadaan tersebut, karena beliau meninggal pada tanggal 10 Desember 1198 M/9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijrah. Marakesh, merupakan kota ketiga terbesar di Maroko, setelah metropolitan modern Casablanca, dan ibu kota Rabat. [8]
3. KARYA TULIS IBNU RUSYD
Karangan Ibnu Rusyd yang lainnya meliputi berbagai ilmu, seperti : fiqh, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar  yang telah ditulisnya. Buku-bukunya ada kalanya merupakan karangan sendiri atau ulasan atau ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka tidak mengherankan kalau ia memberikan perhatian yang besar terhadap untuk mengulas dan meringkas filsafat Aristoteles.
Ibnu Rusyd banyak mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa Arab dan sampai ke tangan kita sekarang hanya sedikit, diantaranya adalah buku-buku tentang filsafat seperti :
1.      Tahafut al-Tahafut.
2.      Risalah fi Ta’alluqi ‘Ilmillahi ‘an ‘Adami Ta’alluqihi bi al-Juziyat.
3.      Tafsiru ma ba’da ath-Thabiat.
4.      Fashl al-Maqal fi ma baina al-Himaah wa asy-Syari’ati min al-Ittishal.
5.      Al-Kasyfu ‘an Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaidi Ahl al-Millah.
6.      Naqdu Nazhariyat Ibnu Sina ‘an al-Mu’min lidzatihi wa al-Mu’min lighairih.
7.      Risalah fi al-Wujud al-Azali wa al-Wujud al-Mu’aqqat.
8.      Risalah fi al-‘Aqli wa al-Ma’qul.
Buku-buku lainnya yang lebih penting dan sampai kepada kita ada empat, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.      Bidayah al-Mujtahid, ilmu fiqh. Buku ini bernilai tinggi, karena berisi perbandingan madzhab dalam fiqh dengan menyebutkan alasan masing-masing.
b.      Fasl al-Maqal fi ma bain al-Hikmati wa asy-Syari’ati min al-Ittishal (Ilmu Kalam). Buku ini berupaya menunjukkan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’ah, dan juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis asal Jerman.
c.      Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaidi Ahl al-Millah (Ilmu Kalam).   Buku ini menjelaskan tentang pendirian aliran-aliran Ilmu Kalam dan kelemahan-kelemahannya. Buku ini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman juga oleh Muler pada tahun 1895.
d.      Tahafut at-Tahafut.     Buku ini terkenal dalam lapangan filsafat dan Ilmu Kalam. Buku ini ditujukan untuk membela filsafat dari serangan Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falalasifah. Buku Tahafut at-Tahafut berkali-kali diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan terjemahannya ke dalam Bahasa Inggris oleh Van De Berg terbit pada tahun 1952 M.[9]
4. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU RUSYD
Corak Filsafat Ibnu Rusyd
Ajaran Ibnu Rusyd yang terkenal di Eropa dengan sebutan Averroism berpangkal pada pikiran merdeka. Pemikiran ini ditolak keras oleh dunia Kristen Eropa, dan telah mempengaruhi seluruh universitas Eropa untuk berabad-abad lamanya, sehingga menimbulkan zaman Renaissance di benua Eropa.[10]
Ibnu Rusyd terkenal sebagai “Pengulas Aristoteles” (komentator), suatu gelar yang diberikan oleh Dante (1265-1321) dalam bukunya Divina Commedia (Komedi Ketuhanan). Gelar ini memang tepat untuknya, karena pikiran-pikirannya mencerminkan usahanya yang keras untuk mengembalikan pikiran-pikiran Aristoteles kepada kemurniannya yang semula, setelah bercampur dengan unsur-unsur Platonisme yang cukup memburukkan dan yang dimasukkan oleh pengulas-pengulas (filsuf) Iskandariah.
Selama hidupnya, Ibnu Rusyd berkeyakinan bahwa filsafat Aristoteles jika dipahami sebaik-baiknya, maka tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia, bahkan perkembangan kemanusiaan telah mencapai tingkat yang tertinggi pada diri Aristoteles sehingga tidak ada orang yang melebihinya. Orang-orang yang datang sesudahnya mengalami kesulitan-kesulitan, dan dengan kerasnya mereka memeras otak untuk menemukannya. Sedangkan bagi Aristoteles pikiran-pikiran semacam itu dapat dicapai dengan mudahnya.
Dalam mempelajari pikiran-pikiran Aristoteles, Ibnu Rusyd menggunakan terjemahan buku-buku Aristoteles asli dan terjemahan ulasan-ulasannya. Ia berusaha keras untuk menjelaskan pikiran-pikiran Aristoteles yang masih gelap dan memperbandingkannya satu sama lain. Namun demikian, Ibnu Rusyd tidak terhindar dari kesalahan-kesalahan yang pernah dialami oleh orang-orang sebelumnya. Hal ini dapat dipahami, karena bisa saja terjemahan-terjemahan tersebut tidak sanggup menyatakan dengan teliti terhadap pikiran-pikiran Aristoteles yang terdapat dalam bahasa Yunani.[11]

Peranan Akal dalam Filsafatnya
Ibnu Rusyd merupakan seorang filsuf Islam yang mementingkan akal daripada perasaan. Menurutnya semua persoalan agama harus dipecahkan dengan kekuatan akal. Dalam hal ini termasuk ayat-ayat berkaitan erat dengan akal.
Menurut Ibnu Rusyd, logika harus dipergunakan sebagai dasar semua penilaian terhadap kebenaran. Dalam mempelajari agama, orang harus belajar memikirkannya secara logika.
Mengenai tujuan agama sendiri, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa pokok tujuan syariat Islam yang sebenarnya ialah pengetahuan yang benar dan amal perbuatan yang benar.
Mengenai pengetahuan, menurut Ibnu Rusyd maksudnya untuk mengetahui dan mengerti adanya Allah Ta’ala serta segala alam yang tercipta ini pada hakikatnya yang sebenarnya apa maksud syari’at itu, dan mengerti apa pula sebenarnya yang dikehendaki dengan pengertian kebahagiaan di akhirat (surga) dan kecelakaan di akhirat (neraka).
Maksud amal yang benar ialah mengerjakan dan menjauhkan pekerjaan-pekerjaan yang akan mengakibatkan penderitaan. Mengetahui tentang amal perbuatan seperti inilah yang dinamakan ilmu yang praktis.[12]

Permasalahan Filsafat Ibnu Rusyd
Di dalam filsafat Ibnu Rusyd terdapat lima permasalahan yang sangat mendasar, yaitu : pengetahuan Tuhan terhadap soal-soal juziyat; terjadinya alam maujudat dan perbuatannya; keazalian dan keabadian alam; gerak dan keazaliannya; serta akal yang universal dan satu.
1) Pengetahuan Tuhan
Berhubungan dengan pengetahuan Tuhan, Ibnu Rusyd mengikuti pandangan para filsuf bahwa Tuhan hanya mengetahui keberadaannya sendiri. Bagi filsuf, pandangan ini merupakan keniscayaan agar Tuhan tetap terjaga keesaan-Nya, karena apabila Tuhan mengetahui keberagaman segala sesuatu, berarti Tuhan juga mempunyai keberagaman dalam diri-Nya. Jalan pikiran ini akhirnya meletakkan Tuhan untuk semata-mata berada dalam zat-Nya sendiri dan tidak ada yang lain.[13]

Di dalam filsafat Ibn Rusyd, dinyatakan bahwa Tuhan tidaklah mengetahui soal-soal juziyat sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristoteles. Pemikiran ini didasarkan atas argumen sebagai berikut : yang menggerakkan itu, yakni Tuhan, merupakan akal yang murni bahkan merupakan akal yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu, pengetahuan dari akal yang tertinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Oleh karena itu pula, tidak mungkin Tuhan mengetahui selain zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan.
Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil, artinya bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna, dan ini tidak wajar. Oleh karena itu, sudah seharusnya Tuhan tidak mengetahui selain zat-Nya sendiri.
Argumen Aristoteles tersebut disetujui pula oleh Ibnu Sina, namun dibantah keras oleh Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd, bahwa mereka yang mendakwa ahli-ahli filsafat itu ialah memungkiri pengetahuan Tuhan kepada juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang biasa.[14]

2) Amal Perbuatan
Dalam masalah amal perbuatan timbul masalah mendasar yaitu: Bagaimanakah terjadinya alam ini dan amal perbuatannya? Bagi golongan agama jawabannya sudah cukup jelas. Mereka mengatakan bahwa semua itu adalah ciptaan Tuhan. Semua benda atau peritiwa,baik besar ataupun kecil, Tuhanlah yang menciptakannya dan  memeliharanya. Sebaliknya bagi golongan filsafat menjawab persoalan itu harus ditinjau dengan akal pikiran. Di antara mereka ada yang menyimpulkan bahwa materi itu azali, tanpa permulaan terjadinya. Perubahan materi itu menjadi benda-benda lain yang beraneka macam terdapat di dalam kekuatan yang ada di dalam maksud itu sendiri secara otomatis. Artinya tidak langsung dari Tuhan.
Di antara ahli filsafat ada yang berpendapat bahwa materi itu abadi. Ia terdiri atas bermacam-macam jauhar. Tiap-tiap jauhar mengadakan jauhar yang baru. Materi itu terjadinya bukan dari tidak ada, melainkan dari keadaan yang potensial (bil-quwwah).
Aristoteles sendiri berpendapat bahwa jauhar (subtansi) pertama dari materi itu  menyebabkan adanya jauhar yang kedua tanpa berhajat bantuan zat lain di luar dirinya. Ini berarti bahwa sebab dan akibat penciptaan dan amal materi itu seterusnya terletak pada diri materi itu sendiri.

Ibnu Rusyd dapat menerima pendapat Aristoteles ini dengan menjelaskan pula argumennya sebagai berikut : Seandainya Tuhan itu menjadikan segala sesuatu dan peristiwa yang ada ini, maka akibatnya ide tentang sebab tidak akan ada artinya lagi. Padahal seperti yang kita lihat sehari-hari, apapun yang terjadi dalam ini senantiasa  diliputi oleh hukum sebab dan akibat (musabab). Misalnya api yang menyebabkan terbakar, dan air yang menyebabkan basah.[15]

3) Keazalian Alam
Dalam masalah ini timbul pertanyaan : Apakah alam ini ada permulaan terjadinya atau tidak?
Dalam ini Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa  alam ini azali tanpa ada permulaan.  Dengan demikian  berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam ini. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd keazalian Tuhan itu berbeda dari keazalian alam, sebab keazalian Tuhan lebih utama dari keazalian alam. Untuk membela pendapatnya, Ibnu Rusyd mengeluarkan argumen sebagai berikut : Seandainya alam ini tidak azali, ada permulaannya maka ia hadits (baru), mesti ada yang menjadikannya, dan yang menjadikannya itu harus ada pula yang menjadikannya lagi, demikianlah seterusnya tanpa ada habis-habisnya. Padahal keadaan berantai demikian (tasalsul) dengan tidak ada putusnya, tidak akan dapat diterima oleh akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam itu hadits (baru).
Oleh karena di antara Tuhan dengan alam ini ada hubungan meskipun tidak sampai pada soal-soal rincian, padahal Tuhan azali dan Tuhan yang azali itu tidak akan berhubungan kecuali dengan yang azali pula, maka seharusnya alam ini azali meskipun keazaliannya kurang utama dari keazalian Tuhan.

4) Gerakan yang Azali
Gerakan adalah suatu akibat karena setiap gerakan selalu memiliki sebab yang mendahuluinya. Apabila kita cari sebab itu, maka tidak akan kita temui sebab penggeraknya pula, dan begitulah seterusnya tidak mungkin berhenti. Dengan demikian, kewajiban kita menganggap bahwa sebab yang paling terdahulu atau sebab yang pertama adalah sesuatu yang tidak bergerak. Gerakan itu dianggap tidak berawal dan tidak berakhir, azali dan abadi. Adapun sebab pertama (prima causa) atau penggerak utama itulah yang disebut dengan Tuhan.

Kemudian Ibnu Rusyd berpendapat bahwa walaupun Tuhan  adalah sebab atau penggerak yang pertama, Dia hanyalah menciptakan gerakan pada akal pertama saja, sedangkan gerakan-gerakan selanjutnya (kejadian-kejadian di dunia ini) disebabkan oleh akal-akal selanjutnya. Oleh karena itu, menurut Ibnu Rusyd,tidak dapat dikatakan adanya pimpinan langsung dari Tuhan terhadap peristiwa-peristiwa di dunia.

5) Akal yang Universal
Menurut Ibnu Rusyd akal itu (seperti yang dimaksud oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina) adalah suatu satu universal. Maksudnya bukan saja ”akal yang aktif” (active intellect) adalah esa dan universal, tetapi juga ’’akal kemungkinan’’, yakni akal reseptif adalah esa dan universal, sama dan satu bagi semua orang.
Hai ini berarti bahwa segala akal dianggap sebagai monopsikisme. Menurut Ibnu Rusyd ’’akal kemungkinan’’ barulah merupakan individu tertentu ketika dia berkaitan dengan dengan suatu bentuk materi atau tubuh orang per seorangan. Dengan kata lain, akal kepunyaan orang perseorangan tidak memiliki keabadian, tetapi yang kekal dan abadi itu adalah akal universal, yakni asal sumber dan tempat kembalinya akal kemungkinan manusia individual.
Perlu dijelaskan, bahwa pengakuan Ibnu Rusyd tentang akal yang bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan monopsikisme. Maksud Ibnu Rusyd, roh universal itu adalah satu dan abadi.[16]

6) Tinjauan Metafisika Ibnu Rusyd[17]
Ibnu Rusyd sudah membahas tentang wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya dan hubungan Tuhan dengan alam. Ketiga hal tersebut menjadi pokok pembahasan metafisika Ibnu Rusyd. Di samping itu, Ibnu Rusyd meneliti berbagai golongan Islam dalam mencari Tuhan. Golongan tersebut terdiri dari Asy’ariah, Mutazilah, Batiniah, dan Hasywiah. Masing-masing golongan tersebut memiliki pandangan tersendiri tentang Tuhan.
Di samping itu, Ibnu Rusyd juga meninjau pemikiran Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah mengisi bukunya Tahafut al-Falasifah dengan pikiran-pikiran sofistis, dan kata-katanya tidak sampai kepada tingkat keyakinan serta tidak mencerminkan hasil pemahamannya terhadap filsafat  itu sendiri. Pembicaraan Al-Ghazali terhadap pikiran-pikiran filsuf-filsuf dengan cara demikian, tidak pantas baginya, sebab tidak lepas dari satu dan dua hal. Pertama, ia sebenarnya memahami pikiran-pikiran tersebut, tetapi tidak disebutkan di sini secara benar-benar dan ini adalah perbuatan orang-orang buruk. Kedua, ia memang tidak memahami benar-benar, dan dengan demikian maka ia membicarakan sesuatu yang tidak dikuasainya, dan ini adalah perbuatan orang-orang bodoh.
Menurut Ibnu Rusyd, kedua kemungkinan tersebut sebenarnya tidak terdapat pada Al-Ghazali. Akan tetapi ada pepatah mengatakan “kuda balap kadang-kadang tersandung”, dan bagi Al-Ghazali tersandungnya itu ialah akibat ia menulis buku Tahafut al-Falasifah tersebut. Boleh jadi penulisannya itu dilaksanakan karena melayani selera masa dan lingkungannya.
Golongan Asy’ariah mengatakan bahwa kepercayaan tentang wujud Tuhan tidak lain adalah melalui akal. Menurut Ibnu Rusyd,


5. PEMBELAAN IBNU RUSYD PADA FILSAFAT
Di dalam bidang akidah, Ibnu Rusyd mempunyai peran penting dalam melaksanakan upaya penyelamatan filsafat dari pengasingan umat Islam sendiri ketika munculnya fatwa haram  Al-Ghazali di bidang tersebut.
Dua kitab yang mencoba melakukan penetrasi gencarnya serangan-serangan badai yang telah dikemukakan  Al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut dan Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah wa asy-Syariah min al-Ittishal. Kedua kitab inilah yang selanjutnya menjadi pilar utama pemikiran Ibnu Rusyd guna menyelamatkan filsafat. Walaupun upaya ini baru nampak membuahkan hasil baru-baru ini saja, di era modern ini.
Jadi lama sekali pemikiran Ibnu Rusyd ini keluar dari sarangnya dan menampakkan kupu-kupu indahnya. Selama tujuh abad pasca wafatnya, pemikiran al-Ghazali terus berkibar, yang cenderung menjauhi dunia pemikiran seperti filsafat dan memunculkan kajian fiqh dan ushul, khususnya di Sunni. Kejumudan melanda, peta pemikiran filsafat masih ada namun nampak redup, di belahan bumi Persia filsafat itu terus berkembang, sedangkan di belan bumi Islam lainnya, semuanya mengalami ketidakberubahan.

Pembelaan Ibnu Rusyd yang sejak dulu dilakoninya terhadap filsafat yang sering kita dengar adalah upayanya untuk meredam kesesatan para Filsuf, Tahafut al-Falasifah karya al-Ghazali. Bagaimana ia melindungi tiga pendapat utama yang difatwakan al-Ghazali pada para filsuf yang dianggapnya sesat. Perdebatan antara keduanya menjadi debat dua orang dari dua generasi berbeda yang seakan-akan mewakili perdebatan sengit masa lampau antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Mu’tazilah dengan kebebasan berfikirnya dan Asyariyah dengan ortodoksinya.
Namun dalam kaitannya dengan Al-Ghazali, Dr. Mulyadi Kertanegara mengatakan bahwa pada dasarnya apa yang diserang al-Ghazali adalah dunia filsafat tidak secara keseluruhan. Hanya pengikut aliran filsafat Neo Platonis saja yang seharusnya mendapatkan serangan itu. Adapun alasan al-Ghazali melakukan ini karena kebebasan berfikir yang dipraktikkan orang-orang muslim Neo Platonis seperti Al-Farabi (w.950) dan Ibn Sina (w.1038), terlalu diumbar sebebas-bebasnya dan terkadang menganggap ritual-ritual agama menjadi tidak penting. Berangkat dari sinilah al-Ghazali mengembangkan gagasannya untuk menyerang para filsuf Neo Platonis ini, sayangnya oleh mayoritas umat Islam itu dipahami sebagai fatwa haram bagi semua aliran filsafat tanpa mengingat bahwa al-Ghazali pun seorang filsuf juga.[18]
Rasionalitas Ibnu Rusyd pada dasarnya tidak lepas dari aliran peripatetik yang menyatakan bahwa semua yang ada di dunia ini memiliki materi dan bentuk. Satu gagasan Aristoteles yang begitu dijiwai oleh Ibnu Rusyd. Hylomorfis inilah yang dijadikan pijakan oleh aliran filsafat peripatetik. Yang kemudian memunculkan grant naration of causality principal. Di mana prinsip-prinsip kausalitas ini berangkat dari potensialitas materi yang baru bisa terbentuk ketika ada satu wujud non-potensial yang mengaktualkannya. Rasionalitas mencoba membuktikan keberadaan Tuhan sebagai wahdat al-wujud.
Selanjutnya, sanggahan-sanggahan Ibnu Rusyd terhadap tiga hal yang menyebabkan al-Ghazali mengaharamkan filsafat, adalah sebagai berikut :[19]

Keabadian Alam
Ketika ada dua entitas yang abadi maka tidak dapat dibedakan mana yang pencipta dan mana yang diciptakan. Tapi, kita lupa bahwa apa yang dibicarakan ini saat alam belum ada alam. Al-Ghazali terjebak dengan konsep ruang dan waktu yang meliputi alam. Ketika membahas tentang proses terciptanya alam maka lepaskan dulu konsep ruang dan waktu.

Menurut Ibnu Rusyd, meskipun Tuhan dan alam sama-sama abadi tetapi karena Tuhan sebagai penyebab, sedangkan alam adalah akibat, maka Tuhan tetap yang dahulu ada (sebagai pencipta). Hal ini dapat dicontohkan sebagai matahari dengan sinarnya. Mana yang lebih dahulu antara matahari dan sinarnya ?
Ibnu Rusyd juga melancarkan kritik balik terhadap pemikiran al-Ghazali yang menyatakan bahwa Tuhan berkehendak ketika menciptakan alam. Menurut Ibnu Rusyd ini tidak mungkin. Permasalahannya adalah kenapa jika kehendak Tuhan itu ada sejak zaman azali tetapi alam datangnya kemudian. Seharusnya sejak azali pun alam sudah ada. Rentang waktu penciptaan ini mengandaikan bahwa ada sesuatu yang lain, membuat Tuhan harus merealisasikan alam. Tentu ini menyalahi aturan. Para filsuf menawarkan, bahwa alam di sini bukan alam aktual. Tetapi potensi alam, jadi potensi alamlah yang ada sejak zaman dahulu.

Pengetahuan Tuhan
Menurut para filsuf, Tuhan hanya mengetahui yang partikular secara universal.  Jika pengetahuan Tuhan bersifat partikular, maka apa-apa yang ada di dunia ini akan selalu menjadi kehendak Tuhan. Ini berakibat, keadilan Tuhan akan dipertanyakan. Misalnya kasus manusia yang mati bunuh diri, dengan konsep pengetahuan Tuhan yang partikular, implikasinyapun hal ini sudah ditetapkan Tuhan. Dengan begitu konsep pengetahuan Tuhan secara partikular mengalami permasalahan. Tuhan akan tahu bahwa setiap manusia akan mati, sampai di sinilah pengetahuan Tuhan, tetapi bagaimana cara manusia itu mati, hal itu diserahkan pada manusia sendiri.
Hal ini nampak sebagai keterbatasan, karena mengandaikan bahwa penglihatan Tuhan menggunakan indera. Pengenalan Tuhan adalah pengenalan universal, karena tiadanya indera dalam diri Tuhan.
Selalu ada batas-batas yang membatasi, terhadap Tuhan sendiri. Misalnya, mungkinkah Tuhan membunuh dirinya? Jika mengikuti nalar tentu bisa saja Tuhan membunuh dirinya sendiri, karena kemahakuasaan diri-Nya. Tentu tak mungkin Tuhan membunuh dirinya.

Kebangkitan Jasmani Setelah Mati
Menurut para filsuf tak mungkin jasmani manusia akan bangkit setelah mati. Hal ini merujuk pada sifat jasmani itu sendiri (tubuh tak mungkin bisa abadi, setiap yang fisik akan selalu hancur), padahal menurut Al-Qur’an, nanti manusia akan abadi di akhirat. Maka dari itu, tak mungkin jasmani manusia ini akan bangkit menuju akhirat, karena kefanaannya.
Dosa yang kita lakukan tak akan dirasakan sakitnya saat ini, karena tubuh menikmatinya, begitupun dengan kebaikan yang kita lakukan saat ini seringkali terasa menyakitkan bagi tubuh kita. Tapi, setelah meninggal, kata Al-Farabi, kepahitan dosa kita akan benar-benar dirasakan karena sudah tak ada yang menghalangi, yaitu tubuh. Begitu pula dengan pahala, pahala akan kita rasakan kenikmatannya. Dosa kitalah yang akan menyiksa kita, bukan Tuhan. Itulah gambaran Al-Farabi tentang kehidupan akhirat nanti.
Sedangkan konsep al-Ghazali tentang kehidupan akhirat, menurut Ibnu Rusyd tidak konsisten karena kadangkala menyatakan bahwa surga dan neraka itu bersifat fisik di satu buku, di buku lainnya ia menyatakan bahwa kehidupan akhirat bersifat ruhani.
Dari tiga sanggahannya ini,  Ibnu Rusyd mencoba untuk kembali merajut benang-benang filsafat yang sempat dipotong-potong al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd, bahwa di dalam filsafat Islam ini kami juga menemukan kebenaran. Namun sayangnya filsafat Ibnu Rusyd justeru berkembang di Barat tempat ia mengasah pengetahuannya. Di dunia Islam sendiri pintu untuk mempelajari filsafat telah dikunci mati oleh fatwa haram al-Ghazali. Dan inipun harus diakui.
Upaya lain Ibnu Rusyd dalam usaha pembelaanya terhadap filsafat adalah dengan menyatakan bahwa antara filsafat dan syariat tidaklah bertentangan dalam kitabnya Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah wa asy-Syariah min al-Ittishal. Fatwa haram al-Ghazali benar-benar meresap di benak dan sanubari umat Islam dan tentu Ibnu Rusyd tidak ingin itu berlarut-larut terjadi. Ketika upaya perlawanan dengan kitab Tahafut at-Tahafut dirasa masih kurang berhasil dalam mengambil hati umat Islam, upaya persuasive pun dimunculkan dengan adanya kitab ini. Pada dasarnya kitab ini berbicara tentang hubungan antara akal dan wahyu. Bertentangan atau tidak keduanya? Oleh Ibnu Rusyd dikatakan bahwa keduanya tidaklah bertentangan.Ada kebenaran tunggal di dalamnya. Dalam upayanya itu nampak betul bahwa Ibnu Rusyd benar-benar berkeinginan untuk mendamaikan dua pendapat ini. Untuk memperkuat argumen ini Ibnu Rusyd membagi manusia menjadi tiga golongan.
Pertama, kelas kaum ortodoks yang tidak terpelajar. Orang-orang dalam kategori ini jumlahnya paling banyak, dan biasanya dalam menjalani rutinitas keberagamaannya hanya dengan bertaqlid atau mengikut.
Kedua, adalah para teolog. Golongan ini dikatakan Ibnu Rusyd adalah golongan tepelajar namun tidak mau memahami premis-premis logika.
Ketiga, adalah golongan orang-orang yang memahami agama secara rasional.
Dari tiga kategorisasi ini Ibnu Rusyd kemudian menyatakan bahwa perbedaan pendapat dan pemahaman dalam Islam, sebenarnya berpangkal pada ini. Allah SWT mencipta Al-Qur’an sebegitu fleksibelnya hingga dapat menyesuaikan yang membaca dan yang memahaminya. Dari sinilah kemudian Ibnu Rusyd dinyatakan sebagai seorang yang menyebarkan ajaran ganda. Meski kalau kita pahami lanjut sebenarnya tidak ada itu yang namanya kebenaran ganda, yang ganda mungkin pemahamannya saja. Jelas pembelaan yang luar biasa oleh Ibnu Rusyd pada filsafat. Namun, mengalir dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Ibnu Rusyd cenderung pada rasionalitas, dan agak mengesampingkan peran wahyu.
Selanjutnya, lima hal yang harus dimiliki seseorang yang ingin mendalami filsafat menurut Ibnu Rusyd adalah sebagai berikut :[20]
Pertama, bakat alam. Menurut Ibnu Rusyd seseorang yang ingin mendalami harus memiliki bekal awal yaitu nalar. Tidak semua orang memiliki kemampuan dan minat yang sama dalam mendalami filsafat. Jadi ini penting untuk diperhatikan. Bekal otak yang cerdas.
Kedua, tertib. Seorang yang ingin berhasil menjadi filsuf harus mempelajari filsafat secara sistematis dan berurutan, agar tidak ada kerancuan-kerancuan.
Ketiga, objektivitas. Kejujuran untuk mengatakan benar dan tidak pada sebuah pemikiran adalah hal penting lain yang harus dimiliki seorang calon filsuf. Ketika mendapatkan satu kebenaran dalam suatu pemikiran katakanlah itu kebenaran, tanpa mengurangi atau melebihkan.
Keempat, keteguhan pendapat. Ketika seorang filsuf mendapatkan kepastian dalam pemikirannya, maka sikap yang patut adalah mempertahankan pemikirannya itu dengan sungguh. Dalam kamus seorang filsuf tidak ada yang namanya kemunafikan pemikiran. Ketika ia menyatakan kebenaran satu hal maka ia harus mempertahankannya mati-matian.
Kelima, keutamaan akhlak. Seseorang yang ingin mendalami filsafat harus benar-benar meniatkan dirinya untuk fokus hanya pada pengetahuan dan kebaikan.
Demikianlah lima hal yang diajarkan Ibnu Rusyd untuk mengaktualkan diri dalam dunia pemikiran.


6. KESIMPULAN
Ibnu Rusyd adalah seorang pemikir yang berupaya melakukan berbagai usaha pembelaanya terhadap  filsafat dengan menyatakan bahwa antara filsafat dan syariat tidaklah bertentangan. Terhadap filsafat Aristoteles, ia berupaya untuk memberikan pemahaman yang lebih obyektif terhadap filsafat Aristoteles, karena jika dipahami lebih lanjut, filsafat Aristoteles tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Ibnu Rusyd juga termasuk salah satu seorang filsuf Islam yang mementingkan akal daripada perasaan. Menurutnya semua persoalan agama harus dipecahkan dengan kekuatan akal. Dalam hal ini termasuk ayat-ayat berkaitan erat dengan akal. Walau demikian, dalam pemikirannya selalu memperhatikan konteks kehidupan masyarakat.
Dengan keterbukaan, ia menerima dengan baik ajaran dari para filsuf sebelumnya, dan mampu menyatakan kembali ajaran-ajaran yang diperolehnya itu dengan jernih. Dengan ketajaman pikiran, ia dapat melakukan pembedaan, penyaringan terhadap ajaran-ajaran yang umumnya dijumpai melalui perantara dengan cermat, sehingga kekeliruan ajaran yang sampai kepadanya dapat dibersihkan kembali.
Dalam pemikiran hukum, Ibnu Rusyd menggunakan metode intiqa’i, yaitu  melihat berbagai pendapat para imam madzhab beserta dalil dan metoda yang mereka gunakan, membandingkan dan memilih salah satu yang paling kuat dan lebih sesuai untuk diterapkan.















DAFTAR PUSTAKA
1.       Abdullah Siddik, Mr., Islam dan Filsafat, Jakarta : Triputra Masa, 1984.
2.      Ahmad Fu`ad Al-Ahwany, al-Falsafah al-Islamiyyah, Kairo : Maktaba al-Saqafiyyat, 1962.
3.       Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
4.      Mulyadi Kertanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago,  Jakarta, Paramadina, 2000.
5.      Poerwantana, Drs., dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991.
6.      Sudarsono, Drs. SH., M.Si, Filsafat Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 2004.
7.       T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, Terjemahan Muhammad `Abd al-Hady Abu Zaidah, Kairo : Mathba`at At-Taklif, 1962.
8.      Zuhairi Misrawi, Ibnu Rusyd, Gerbang Pencerahan Timur dan Barat, Jakarta, P3M, 2007.
9.      Referensi dari internet :
http://mickeydza90.blogspot.com/2009/05/pemikiran-filsafat-ibnu-rusyd.html
http://khofif.wordpress.com/2010/04/29/pola-pemikiran-ibnu-rusyd-tentang-pendidikan-agama-islam-2/
http://budiatturats.wordpress.com/2009/12/08/benarkah-filsafat-mengantarkan-ibnu-rusyd-menjadi-kafir-tulisan-sederhana-ini-akan-mencoba-menjawabnya/#_ftn26





[1] Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, (Jakarta : Dian Rakyat, 2008), hal. 12-13.

[2][2] Prof. Dr. Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986), hal. 314.

[3] Ahmad Fu`ad Al-Ahwany, A History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden : Otto Harrossowitz, 1963), hal. 540.

[4] Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004),  hal.  21-22.

[5] Mr. Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, (Jakarta : Triputra Masa, 1984), hal. 126-127.

[6] Ahmad Fu`ad Al-Ahwany, al-Falsafah  al-Islamiyyah, (Kairo : Maktaba al-Saqafiyyat, 1962),  hal. 100.

[7] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 199.

[8] T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, Terjemahan Muhammad `Abd Al-Hady Abu Zaidah,( Kairo : Mathba`at al-Taklif, 1962), hal. 257.

[9] Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hal. 94-95.

[10] Mr. Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, hal. 127.

[11] Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, hal. 96-97

[12] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, hal. 201.

[13] Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, hal. 38.

[14] Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, hal. 99.

[15] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, hal. 204

[16] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, hal. 205

[17] Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, hal. 102-104.

[18] Mulyadi Kertanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago,( Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 48

[19] Mulyadi Kertanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago,  hal. 50-51.

[20] Zuhairi Misrawi, Ibnu Rusyd, Gerbang Pencerahan Timur dan Barat,( Jakarta: P3M, 2007), hal. 167 – 168.

No comments:

Post a Comment