IBNU RUSYD & PEMIKIRANNYA
1. PENDAHULUAN
Filsafat dalam Islam berkembang melalui beberapa fase. Pada fase
pertama yang dilakukan ialah penerjemahan bagian-bagian yang menarik dari
filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-buku ke bahasa Arab
secara sistematis terjadi pada fase kedua dan berkembang pada masa Khalifah
Al-Ma’mun (813-833 Masehi).[1]
Pada
fase ketiga muncullah filsuf-filsuf seperti berikut ini :
a.
Al-Kindi
(801-873 Masehi) dengan teori perdamaiannya antara wahyu dan akal dan antara
agama dan filsafat.
b.
Al-Farabi
(870-950 Masehi) dengan teori penciptaan alam oleh Tuhan melalui emanasi dan
teori kenabiannya.
c.
Ibnu
Sina (980-1073 Masehi) dengan teori ruh yang perlu bersatu dengan tubuh manusia
untuk mencapai kesempurnaan.
d.
Al-Ghazali
(1058-1111 Masehi) dengan kritik pedasnya terhadap kaum filsuf seperti
diuraikan dalam Tahafut al-Falasifah.
e.
Ibnu
Miskawaih (wafat 1030 Masehi) dengan filsafat akhlaknya.
f.
Ibnu
Bajjah (wafat 1138 Masehi) dengan teorinya bahwa manusia dengan menyendiri dan
meditasi dapat sampai pada kebenaran seperti dijelaskan dalam buku Tadbir
al-Mutawahhid.
g.
Ibnu
Thufail (wafat 1185 Masehi) yang menggambar dan menjelaskan teori Ibnu Bajjah
dalam Hayy bin Yaqzhan.
h.
Ibnu
Rusyd (1126 – 1198 Masehi) dengan pembelaannya terhadap kaum filsuf dengan
membawa argumen-argumen Al-Qur’an seperti diuraikan dalam Tahafut
al-Tahafut.[2]
2. BIOGRAFI IBNU RUSYD
Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah
Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd. Beliau
dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510H/1126M.[3] Ayah dan kakeknya
merupakan pencinta ilmu dan ulama yang cukup disegani di Spanyol. Ayahnya yang
bernama Ahmad Ibnu Muhammad (487-563 H) merupakan seorang faqih (ahli hukum
Islam) dan pernah menjadi hakim di Cordova. Sementara kakeknya, Muhammad bin
Ahmad (wafat 520 H-1126 M) merupakan ahli fiqh madzhab Maliki dan imam masjid
Cordova serta pernah menjabat sebagai hakim agung di Spanyol. Sebagaimana ayah
dan kakeknya, Ibnu Rusyd juga pernah menjadi hakim agung di Spanyol.
Pendidikan yang dienyam oleh Ibnu Rusyd diawali dari belajar
Al-Qur’an di rumahnya sendiri dengan ayahnya. Kemudian beliau belajar
dasar-dasar ilmu keislaman seperti Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, Ilmu Kalam, Bahasa
Arab dan Sastra. Dalam ilmu Fiqh ia belajar dan menguasai kitab Al-Muwaththa’
karya Imam Malik.
Selain kepada ayahnya sendiri, ia juga belajar kepada Abu Muhammad
bin Rizq dalam disiplin ilmu perbandingan hukum Islam (fiqh ikhtilaf) dan
kepada Ibn Basykual di bidang hadits. Dalam bidang ilmu kedokteran dan filsafat
ia belajar kepada Abu Ja’far Harun al-Tardjalli (berasal dari Trujillo). Selain
itu gurunya yang berjasa dalam bidang kedokteran adalah Ibn Zhuhr.[4]
Di usia 18 tahun, Ibnu Rusyd bepergian ke Maroko, di mana doa
belajar kepada Ibnu Thufail. Dalam ilmu Tauhid beliau berpegang pada paham
Asy’ariyah dan ini membukakan jalan baginya untuk mempelajari ilmu filsafat.
Ringkasnya, Ibnu Rusyd adalah seorang tokoh filsafat, agama, syariat dan
kedokteran yang terkenal pada waktu itu.[5]
Salah satu hal yang sangat mengagumkan di dalam diri Ibnu Rusyd,
adalah hampir seluruh hidupnya
dipergunakan untuk belajar dan membaca. Menurut Ibnu Abrar, walaupun rasanya
terlalu berlebihan, sejak mulai berakal
Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan berpikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan
malam pernikahannya.[6]
Awalnya Ibnu Rusyd memperoleh kedudukan yang baik dari Khalifah Abu
Yusuf Al-Mansur (masa kekuasaannya 1148 – 1194 M), sehingga pada waktu itu Ibnu
Rusyd menjadi raja semua pikiran, tidak ada pendapat kecuali pendapatnya. Akan
tetapi keadaan tersebut segera berubah karena ia diasingkan oleh Al-Mansur dan
dikurung di suatu kampung Yahudi sebagai akibat tuduhan bahwa Ibnu Rusyd telah
keluar dari Islam yang dilancarkan kelompok penentang filsafat, yaitu para
fuqaha di masanya.
Setelah beberapa orang terkemuka dapat meyakinkan Al-Mansur tentang
kebersihan Ibnu Rusyd dari tuduhan tersebut, Ibnu Rusyd dapat menghirup udara
bebas. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, karena muncul kembali tuduhan
yang dilemparkan lagi pada dirinya, dan sebagai akibatnya ia diasingkan ke
Maroko, buku-buku karangannya di bakar dan ilmu filsafat tidak boleh lagi
dipelajari. Sejak saat itu murid-muridnya bubar dan tidak berani lagi
menyebut-nyebut namanya.[7]
Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini tidak berlangsung
lama (satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah mencabut hukumannya dan
posisinya direhabilitasi kembali. Namun,
Ibnu Rusyd tidak lama menikmati keadaan tersebut, karena beliau meninggal pada
tanggal 10 Desember 1198 M/9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun
menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijrah.
Marakesh, merupakan kota ketiga terbesar di Maroko, setelah metropolitan modern
Casablanca, dan ibu kota Rabat. [8]
3. KARYA TULIS IBNU RUSYD
Karangan Ibnu Rusyd yang lainnya meliputi berbagai ilmu, seperti :
fiqh, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak dan filsafat. Tidak kurang
dari sepuluh ribu lembar yang telah
ditulisnya. Buku-bukunya ada kalanya merupakan karangan sendiri atau ulasan
atau ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka
tidak mengherankan kalau ia memberikan perhatian yang besar terhadap untuk
mengulas dan meringkas filsafat Aristoteles.
Ibnu Rusyd banyak mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa Arab
dan sampai ke tangan kita sekarang hanya sedikit, diantaranya adalah buku-buku
tentang filsafat seperti :
1.
Tahafut
al-Tahafut.
2.
Risalah
fi Ta’alluqi ‘Ilmillahi ‘an ‘Adami Ta’alluqihi bi al-Juziyat.
3.
Tafsiru
ma ba’da ath-Thabiat.
4.
Fashl
al-Maqal fi ma baina al-Himaah wa asy-Syari’ati min al-Ittishal.
5.
Al-Kasyfu
‘an Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaidi Ahl al-Millah.
6.
Naqdu
Nazhariyat Ibnu Sina ‘an al-Mu’min lidzatihi wa al-Mu’min lighairih.
7.
Risalah
fi al-Wujud al-Azali wa al-Wujud al-Mu’aqqat.
8.
Risalah
fi al-‘Aqli wa al-Ma’qul.
Buku-buku lainnya yang lebih penting dan sampai kepada kita ada
empat, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.
Bidayah
al-Mujtahid, ilmu fiqh. Buku ini bernilai tinggi, karena berisi perbandingan
madzhab dalam fiqh dengan menyebutkan alasan masing-masing.
b.
Fasl
al-Maqal fi ma bain al-Hikmati wa asy-Syari’ati min al-Ittishal (Ilmu Kalam).
Buku ini berupaya menunjukkan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’ah,
dan juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M oleh
Muler, orientalis asal Jerman.
c.
Manahij
al-‘Adillah fi ‘Aqaidi Ahl al-Millah (Ilmu Kalam). Buku ini menjelaskan tentang pendirian aliran-aliran
Ilmu Kalam dan kelemahan-kelemahannya. Buku ini juga pernah diterjemahkan ke
dalam bahasa Jerman juga oleh Muler pada tahun 1895.
d.
Tahafut
at-Tahafut. Buku ini terkenal dalam
lapangan filsafat dan Ilmu Kalam. Buku ini ditujukan untuk membela filsafat
dari serangan Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falalasifah. Buku Tahafut
at-Tahafut berkali-kali diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan terjemahannya
ke dalam Bahasa Inggris oleh Van De Berg terbit pada tahun 1952 M.[9]
4. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU RUSYD
Corak Filsafat Ibnu Rusyd
Ajaran Ibnu Rusyd yang terkenal di Eropa dengan sebutan Averroism
berpangkal pada pikiran merdeka. Pemikiran ini ditolak keras oleh dunia Kristen
Eropa, dan telah mempengaruhi seluruh universitas Eropa untuk berabad-abad
lamanya, sehingga menimbulkan zaman Renaissance di benua Eropa.[10]
Ibnu Rusyd terkenal sebagai “Pengulas Aristoteles” (komentator),
suatu gelar yang diberikan oleh Dante (1265-1321) dalam bukunya Divina Commedia
(Komedi Ketuhanan). Gelar ini memang tepat untuknya, karena pikiran-pikirannya
mencerminkan usahanya yang keras untuk mengembalikan pikiran-pikiran
Aristoteles kepada kemurniannya yang semula, setelah bercampur dengan
unsur-unsur Platonisme yang cukup memburukkan dan yang dimasukkan oleh pengulas-pengulas
(filsuf) Iskandariah.
Selama hidupnya, Ibnu Rusyd berkeyakinan bahwa filsafat Aristoteles
jika dipahami sebaik-baiknya, maka tidak akan berlawanan dengan pengetahuan
tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia, bahkan perkembangan kemanusiaan telah
mencapai tingkat yang tertinggi pada diri Aristoteles sehingga tidak ada orang
yang melebihinya. Orang-orang yang datang sesudahnya mengalami
kesulitan-kesulitan, dan dengan kerasnya mereka memeras otak untuk
menemukannya. Sedangkan bagi Aristoteles pikiran-pikiran semacam itu dapat
dicapai dengan mudahnya.
Dalam mempelajari pikiran-pikiran Aristoteles, Ibnu Rusyd
menggunakan terjemahan buku-buku Aristoteles asli dan terjemahan
ulasan-ulasannya. Ia berusaha keras untuk menjelaskan pikiran-pikiran
Aristoteles yang masih gelap dan memperbandingkannya satu sama lain. Namun
demikian, Ibnu Rusyd tidak terhindar dari kesalahan-kesalahan yang pernah
dialami oleh orang-orang sebelumnya. Hal ini dapat dipahami, karena bisa saja
terjemahan-terjemahan tersebut tidak sanggup menyatakan dengan teliti terhadap
pikiran-pikiran Aristoteles yang terdapat dalam bahasa Yunani.[11]
Peranan Akal dalam Filsafatnya
Ibnu Rusyd merupakan seorang filsuf Islam yang mementingkan akal
daripada perasaan. Menurutnya semua persoalan agama harus dipecahkan dengan
kekuatan akal. Dalam hal ini termasuk ayat-ayat berkaitan erat dengan akal.
Menurut Ibnu Rusyd, logika harus dipergunakan sebagai dasar semua
penilaian terhadap kebenaran. Dalam mempelajari agama, orang harus belajar
memikirkannya secara logika.
Mengenai tujuan agama sendiri, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa pokok
tujuan syariat Islam yang sebenarnya ialah pengetahuan yang benar dan amal
perbuatan yang benar.
Mengenai pengetahuan, menurut Ibnu Rusyd maksudnya untuk mengetahui
dan mengerti adanya Allah Ta’ala serta segala alam yang tercipta ini pada
hakikatnya yang sebenarnya apa maksud syari’at itu, dan mengerti apa pula
sebenarnya yang dikehendaki dengan pengertian kebahagiaan di akhirat (surga)
dan kecelakaan di akhirat (neraka).
Maksud amal yang benar ialah mengerjakan dan menjauhkan
pekerjaan-pekerjaan yang akan mengakibatkan penderitaan. Mengetahui tentang
amal perbuatan seperti inilah yang dinamakan ilmu yang praktis.[12]
Permasalahan Filsafat Ibnu Rusyd
Di dalam filsafat Ibnu Rusyd terdapat lima permasalahan yang sangat
mendasar, yaitu : pengetahuan Tuhan terhadap soal-soal juziyat; terjadinya alam
maujudat dan perbuatannya; keazalian dan keabadian alam; gerak dan
keazaliannya; serta akal yang universal dan satu.
1)
Pengetahuan Tuhan
Berhubungan dengan pengetahuan Tuhan, Ibnu Rusyd mengikuti
pandangan para filsuf bahwa Tuhan hanya mengetahui keberadaannya sendiri. Bagi
filsuf, pandangan ini merupakan keniscayaan agar Tuhan tetap terjaga
keesaan-Nya, karena apabila Tuhan mengetahui keberagaman segala sesuatu,
berarti Tuhan juga mempunyai keberagaman dalam diri-Nya. Jalan pikiran ini
akhirnya meletakkan Tuhan untuk semata-mata berada dalam zat-Nya sendiri dan
tidak ada yang lain.[13]
Di dalam filsafat Ibn Rusyd, dinyatakan bahwa Tuhan tidaklah
mengetahui soal-soal juziyat sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristoteles.
Pemikiran ini didasarkan atas argumen sebagai berikut : yang menggerakkan itu,
yakni Tuhan, merupakan akal yang murni bahkan merupakan akal yang
setinggi-tingginya. Oleh karena itu, pengetahuan dari akal yang tertinggi itu
haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara
yang mengetahui dan yang diketahui. Oleh karena itu pula, tidak mungkin Tuhan
mengetahui selain zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat lain yang sama
luhurnya dengan zat Tuhan.
Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya pengetahuan
Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil, artinya bahwa
pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna, dan ini
tidak wajar. Oleh karena itu, sudah seharusnya Tuhan tidak mengetahui selain
zat-Nya sendiri.
Argumen Aristoteles tersebut disetujui pula oleh Ibnu Sina, namun
dibantah keras oleh Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd, bahwa mereka yang mendakwa
ahli-ahli filsafat itu ialah memungkiri pengetahuan Tuhan kepada juziyat
sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang biasa.[14]
2)
Amal Perbuatan
Dalam masalah amal perbuatan timbul masalah mendasar yaitu:
Bagaimanakah terjadinya alam ini dan amal perbuatannya? Bagi golongan agama
jawabannya sudah cukup jelas. Mereka mengatakan bahwa semua itu adalah ciptaan
Tuhan. Semua benda atau peritiwa,baik besar ataupun kecil, Tuhanlah yang
menciptakannya dan memeliharanya.
Sebaliknya bagi golongan filsafat menjawab persoalan itu harus ditinjau dengan
akal pikiran. Di antara mereka ada yang menyimpulkan bahwa materi itu azali,
tanpa permulaan terjadinya. Perubahan materi itu menjadi benda-benda lain yang
beraneka macam terdapat di dalam kekuatan yang ada di dalam maksud itu sendiri
secara otomatis. Artinya tidak langsung dari Tuhan.
Di antara ahli filsafat ada yang berpendapat bahwa materi itu
abadi. Ia terdiri atas bermacam-macam jauhar. Tiap-tiap jauhar mengadakan
jauhar yang baru. Materi itu terjadinya bukan dari tidak ada, melainkan dari
keadaan yang potensial (bil-quwwah).
Aristoteles sendiri berpendapat bahwa jauhar (subtansi) pertama
dari materi itu menyebabkan adanya
jauhar yang kedua tanpa berhajat bantuan zat lain di luar dirinya. Ini berarti
bahwa sebab dan akibat penciptaan dan amal materi itu seterusnya terletak pada
diri materi itu sendiri.
Ibnu
Rusyd dapat menerima pendapat Aristoteles ini dengan menjelaskan pula
argumennya sebagai berikut : Seandainya Tuhan itu menjadikan segala sesuatu dan
peristiwa yang ada ini, maka akibatnya ide tentang sebab tidak akan ada artinya
lagi. Padahal seperti yang kita lihat sehari-hari, apapun yang terjadi dalam
ini senantiasa diliputi oleh hukum sebab
dan akibat (musabab). Misalnya api yang menyebabkan terbakar, dan air yang
menyebabkan basah.[15]
3)
Keazalian Alam
Dalam masalah ini timbul pertanyaan : Apakah alam ini ada permulaan
terjadinya atau tidak?
Dalam ini Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa alam ini azali tanpa ada permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal
yang azali, yaitu Tuhan dan alam ini. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd keazalian
Tuhan itu berbeda dari keazalian alam, sebab keazalian Tuhan lebih utama dari
keazalian alam. Untuk membela pendapatnya, Ibnu Rusyd mengeluarkan argumen sebagai
berikut : Seandainya alam ini tidak azali, ada permulaannya maka ia hadits
(baru), mesti ada yang menjadikannya, dan yang menjadikannya itu harus ada pula
yang menjadikannya lagi, demikianlah seterusnya tanpa ada habis-habisnya.
Padahal keadaan berantai demikian (tasalsul) dengan tidak ada putusnya, tidak
akan dapat diterima oleh akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam itu hadits
(baru).
Oleh karena di antara Tuhan dengan alam ini ada hubungan meskipun
tidak sampai pada soal-soal rincian, padahal Tuhan azali dan Tuhan yang azali
itu tidak akan berhubungan kecuali dengan yang azali pula, maka seharusnya alam
ini azali meskipun keazaliannya kurang utama dari keazalian Tuhan.
4)
Gerakan yang Azali
Gerakan adalah suatu akibat karena setiap gerakan selalu memiliki
sebab yang mendahuluinya. Apabila kita cari sebab itu, maka tidak akan kita
temui sebab penggeraknya pula, dan begitulah seterusnya tidak mungkin berhenti.
Dengan demikian, kewajiban kita menganggap bahwa sebab yang paling terdahulu
atau sebab yang pertama adalah sesuatu yang tidak bergerak. Gerakan itu
dianggap tidak berawal dan tidak berakhir, azali dan abadi. Adapun sebab
pertama (prima causa) atau penggerak utama itulah yang disebut dengan Tuhan.
Kemudian Ibnu Rusyd berpendapat bahwa walaupun Tuhan adalah sebab atau penggerak yang pertama, Dia
hanyalah menciptakan gerakan pada akal pertama saja, sedangkan gerakan-gerakan
selanjutnya (kejadian-kejadian di dunia ini) disebabkan oleh akal-akal
selanjutnya. Oleh karena itu, menurut Ibnu Rusyd,tidak dapat dikatakan adanya
pimpinan langsung dari Tuhan terhadap peristiwa-peristiwa di dunia.
5)
Akal yang Universal
Menurut Ibnu Rusyd akal itu (seperti yang dimaksud oleh Al-Farabi
dan Ibnu Sina) adalah suatu satu universal. Maksudnya bukan saja ”akal yang
aktif” (active intellect) adalah esa dan universal, tetapi juga ’’akal
kemungkinan’’, yakni akal reseptif adalah esa dan universal, sama dan satu bagi
semua orang.
Hai ini berarti bahwa segala akal dianggap sebagai monopsikisme.
Menurut Ibnu Rusyd ’’akal kemungkinan’’ barulah merupakan individu tertentu
ketika dia berkaitan dengan dengan suatu bentuk materi atau tubuh orang per
seorangan. Dengan kata lain, akal kepunyaan orang perseorangan tidak memiliki
keabadian, tetapi yang kekal dan abadi itu adalah akal universal, yakni asal
sumber dan tempat kembalinya akal kemungkinan manusia individual.
Perlu dijelaskan, bahwa pengakuan Ibnu Rusyd tentang akal yang
bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia.
Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang
membedakan jiwa manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan monopsikisme. Maksud Ibnu Rusyd,
roh universal itu adalah satu dan abadi.[16]
6) Tinjauan
Metafisika Ibnu Rusyd[17]
Ibnu Rusyd sudah membahas tentang wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya dan
hubungan Tuhan dengan alam. Ketiga hal tersebut menjadi pokok pembahasan
metafisika Ibnu Rusyd. Di samping itu, Ibnu Rusyd meneliti berbagai golongan
Islam dalam mencari Tuhan. Golongan tersebut terdiri dari Asy’ariah, Mutazilah,
Batiniah, dan Hasywiah. Masing-masing golongan tersebut memiliki pandangan
tersendiri tentang Tuhan.
Di samping itu, Ibnu Rusyd juga meninjau pemikiran Al-Ghazali.
Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah mengisi bukunya Tahafut al-Falasifah
dengan pikiran-pikiran sofistis, dan kata-katanya tidak sampai kepada tingkat
keyakinan serta tidak mencerminkan hasil pemahamannya terhadap filsafat itu sendiri. Pembicaraan Al-Ghazali terhadap
pikiran-pikiran filsuf-filsuf dengan cara demikian, tidak pantas baginya, sebab
tidak lepas dari satu dan dua hal. Pertama, ia sebenarnya memahami
pikiran-pikiran tersebut, tetapi tidak disebutkan di sini secara benar-benar
dan ini adalah perbuatan orang-orang buruk. Kedua, ia memang tidak memahami
benar-benar, dan dengan demikian maka ia membicarakan sesuatu yang tidak
dikuasainya, dan ini adalah perbuatan orang-orang bodoh.
Menurut Ibnu Rusyd, kedua kemungkinan tersebut sebenarnya tidak
terdapat pada Al-Ghazali. Akan tetapi ada pepatah mengatakan “kuda balap
kadang-kadang tersandung”, dan bagi Al-Ghazali tersandungnya itu ialah akibat
ia menulis buku Tahafut al-Falasifah tersebut. Boleh jadi penulisannya itu
dilaksanakan karena melayani selera masa dan lingkungannya.
Golongan Asy’ariah mengatakan bahwa kepercayaan tentang wujud Tuhan
tidak lain adalah melalui akal. Menurut Ibnu Rusyd,
5. PEMBELAAN IBNU RUSYD PADA FILSAFAT
Di dalam bidang akidah, Ibnu Rusyd mempunyai peran penting dalam
melaksanakan upaya penyelamatan filsafat dari pengasingan umat Islam sendiri
ketika munculnya fatwa haram Al-Ghazali
di bidang tersebut.
Dua kitab yang mencoba melakukan penetrasi gencarnya
serangan-serangan badai yang telah dikemukakan
Al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut dan Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah
wa asy-Syariah min al-Ittishal. Kedua kitab inilah yang selanjutnya menjadi
pilar utama pemikiran Ibnu Rusyd guna menyelamatkan filsafat. Walaupun upaya
ini baru nampak membuahkan hasil baru-baru ini saja, di era modern ini.
Jadi lama sekali pemikiran Ibnu Rusyd ini keluar dari sarangnya dan
menampakkan kupu-kupu indahnya. Selama tujuh abad pasca wafatnya, pemikiran
al-Ghazali terus berkibar, yang cenderung menjauhi dunia pemikiran seperti
filsafat dan memunculkan kajian fiqh dan ushul, khususnya di Sunni. Kejumudan
melanda, peta pemikiran filsafat masih ada namun nampak redup, di belahan bumi
Persia filsafat itu terus berkembang, sedangkan di belan bumi Islam lainnya,
semuanya mengalami ketidakberubahan.
Pembelaan Ibnu Rusyd yang sejak dulu dilakoninya terhadap filsafat
yang sering kita dengar adalah upayanya untuk meredam kesesatan para Filsuf,
Tahafut al-Falasifah karya al-Ghazali. Bagaimana ia melindungi tiga pendapat
utama yang difatwakan al-Ghazali pada para filsuf yang dianggapnya sesat.
Perdebatan antara keduanya menjadi debat dua orang dari dua generasi berbeda
yang seakan-akan mewakili perdebatan sengit masa lampau antara Mu’tazilah dan
Asy’ariyah. Mu’tazilah dengan kebebasan berfikirnya dan Asyariyah dengan
ortodoksinya.
Namun dalam kaitannya dengan Al-Ghazali, Dr. Mulyadi Kertanegara
mengatakan bahwa pada dasarnya apa yang diserang al-Ghazali adalah dunia
filsafat tidak secara keseluruhan. Hanya pengikut aliran filsafat Neo Platonis
saja yang seharusnya mendapatkan serangan itu. Adapun alasan al-Ghazali
melakukan ini karena kebebasan berfikir yang dipraktikkan orang-orang muslim
Neo Platonis seperti Al-Farabi (w.950) dan Ibn Sina (w.1038), terlalu diumbar
sebebas-bebasnya dan terkadang menganggap ritual-ritual agama menjadi tidak
penting. Berangkat dari sinilah al-Ghazali mengembangkan gagasannya untuk
menyerang para filsuf Neo Platonis ini, sayangnya oleh mayoritas umat Islam itu
dipahami sebagai fatwa haram bagi semua aliran filsafat tanpa mengingat bahwa
al-Ghazali pun seorang filsuf juga.[18]
Rasionalitas Ibnu Rusyd pada dasarnya tidak lepas dari aliran
peripatetik yang menyatakan bahwa semua yang ada di dunia ini memiliki materi
dan bentuk. Satu gagasan Aristoteles yang begitu dijiwai oleh Ibnu Rusyd.
Hylomorfis inilah yang dijadikan pijakan oleh aliran filsafat peripatetik. Yang
kemudian memunculkan grant naration of causality principal. Di mana
prinsip-prinsip kausalitas ini berangkat dari potensialitas materi yang baru
bisa terbentuk ketika ada satu wujud non-potensial yang mengaktualkannya.
Rasionalitas mencoba membuktikan keberadaan Tuhan sebagai wahdat al-wujud.
Selanjutnya, sanggahan-sanggahan Ibnu Rusyd terhadap tiga hal yang
menyebabkan al-Ghazali mengaharamkan filsafat, adalah sebagai berikut :[19]
Keabadian Alam
Ketika ada dua entitas yang abadi maka tidak dapat dibedakan mana
yang pencipta dan mana yang diciptakan. Tapi, kita lupa bahwa apa yang
dibicarakan ini saat alam belum ada alam. Al-Ghazali terjebak dengan konsep
ruang dan waktu yang meliputi alam. Ketika membahas tentang proses terciptanya
alam maka lepaskan dulu konsep ruang dan waktu.
Menurut
Ibnu Rusyd, meskipun Tuhan dan alam sama-sama abadi tetapi karena Tuhan sebagai
penyebab, sedangkan alam adalah akibat, maka Tuhan tetap yang dahulu ada (sebagai
pencipta). Hal ini dapat dicontohkan sebagai matahari dengan sinarnya. Mana
yang lebih dahulu antara matahari dan sinarnya ?
Ibnu Rusyd juga melancarkan kritik balik terhadap pemikiran
al-Ghazali yang menyatakan bahwa Tuhan berkehendak ketika menciptakan alam.
Menurut Ibnu Rusyd ini tidak mungkin. Permasalahannya adalah kenapa jika
kehendak Tuhan itu ada sejak zaman azali tetapi alam datangnya kemudian.
Seharusnya sejak azali pun alam sudah ada. Rentang waktu penciptaan ini
mengandaikan bahwa ada sesuatu yang lain, membuat Tuhan harus merealisasikan
alam. Tentu ini menyalahi aturan. Para filsuf menawarkan, bahwa alam di sini
bukan alam aktual. Tetapi potensi alam, jadi potensi alamlah yang ada sejak
zaman dahulu.
Pengetahuan Tuhan
Menurut para filsuf, Tuhan hanya mengetahui yang partikular secara
universal. Jika pengetahuan Tuhan
bersifat partikular, maka apa-apa yang ada di dunia ini akan selalu menjadi
kehendak Tuhan. Ini berakibat, keadilan Tuhan akan dipertanyakan. Misalnya
kasus manusia yang mati bunuh diri, dengan konsep pengetahuan Tuhan yang
partikular, implikasinyapun hal ini sudah ditetapkan Tuhan. Dengan begitu
konsep pengetahuan Tuhan secara partikular mengalami permasalahan. Tuhan akan
tahu bahwa setiap manusia akan mati, sampai di sinilah pengetahuan Tuhan,
tetapi bagaimana cara manusia itu mati, hal itu diserahkan pada manusia
sendiri.
Hal ini nampak sebagai keterbatasan, karena mengandaikan bahwa
penglihatan Tuhan menggunakan indera. Pengenalan Tuhan adalah pengenalan
universal, karena tiadanya indera dalam diri Tuhan.
Selalu ada batas-batas yang membatasi, terhadap Tuhan sendiri.
Misalnya, mungkinkah Tuhan membunuh dirinya? Jika mengikuti nalar tentu bisa
saja Tuhan membunuh dirinya sendiri, karena kemahakuasaan diri-Nya. Tentu tak
mungkin Tuhan membunuh dirinya.
Kebangkitan Jasmani Setelah Mati
Menurut para filsuf tak mungkin jasmani manusia akan bangkit
setelah mati. Hal ini merujuk pada sifat jasmani itu sendiri (tubuh tak mungkin
bisa abadi, setiap yang fisik akan selalu hancur), padahal menurut Al-Qur’an,
nanti manusia akan abadi di akhirat. Maka dari itu, tak mungkin jasmani manusia
ini akan bangkit menuju akhirat, karena kefanaannya.
Dosa yang kita lakukan tak akan dirasakan sakitnya saat ini, karena
tubuh menikmatinya, begitupun dengan kebaikan yang kita lakukan saat ini
seringkali terasa menyakitkan bagi tubuh kita. Tapi, setelah meninggal, kata
Al-Farabi, kepahitan dosa kita akan benar-benar dirasakan karena sudah tak ada
yang menghalangi, yaitu tubuh. Begitu pula dengan pahala, pahala akan kita
rasakan kenikmatannya. Dosa kitalah yang akan menyiksa kita, bukan Tuhan.
Itulah gambaran Al-Farabi tentang kehidupan akhirat nanti.
Sedangkan konsep al-Ghazali tentang kehidupan akhirat, menurut Ibnu
Rusyd tidak konsisten karena kadangkala menyatakan bahwa surga dan neraka itu
bersifat fisik di satu buku, di buku lainnya ia menyatakan bahwa kehidupan
akhirat bersifat ruhani.
Dari tiga sanggahannya ini,
Ibnu Rusyd mencoba untuk kembali merajut benang-benang filsafat yang
sempat dipotong-potong al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd, bahwa di dalam filsafat
Islam ini kami juga menemukan kebenaran. Namun sayangnya filsafat Ibnu Rusyd
justeru berkembang di Barat tempat ia mengasah pengetahuannya. Di dunia Islam
sendiri pintu untuk mempelajari filsafat telah dikunci mati oleh fatwa haram
al-Ghazali. Dan inipun harus diakui.
Upaya lain Ibnu Rusyd dalam usaha pembelaanya terhadap filsafat
adalah dengan menyatakan bahwa antara filsafat dan syariat tidaklah
bertentangan dalam kitabnya Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah wa asy-Syariah
min al-Ittishal. Fatwa haram al-Ghazali benar-benar meresap di benak dan
sanubari umat Islam dan tentu Ibnu Rusyd tidak ingin itu berlarut-larut
terjadi. Ketika upaya perlawanan dengan kitab Tahafut at-Tahafut dirasa masih
kurang berhasil dalam mengambil hati umat Islam, upaya persuasive pun
dimunculkan dengan adanya kitab ini. Pada dasarnya kitab ini berbicara tentang
hubungan antara akal dan wahyu. Bertentangan atau tidak keduanya? Oleh Ibnu
Rusyd dikatakan bahwa keduanya tidaklah bertentangan.Ada kebenaran tunggal di
dalamnya. Dalam upayanya itu nampak betul bahwa Ibnu Rusyd benar-benar
berkeinginan untuk mendamaikan dua pendapat ini. Untuk memperkuat argumen ini
Ibnu Rusyd membagi manusia menjadi tiga golongan.
Pertama,
kelas kaum ortodoks yang tidak terpelajar. Orang-orang dalam kategori ini
jumlahnya paling banyak, dan biasanya dalam menjalani rutinitas keberagamaannya
hanya dengan bertaqlid atau mengikut.
Kedua,
adalah para teolog. Golongan ini dikatakan Ibnu Rusyd adalah golongan tepelajar
namun tidak mau memahami premis-premis logika.
Ketiga,
adalah golongan orang-orang yang memahami agama secara rasional.
Dari tiga kategorisasi ini Ibnu Rusyd kemudian menyatakan bahwa
perbedaan pendapat dan pemahaman dalam Islam, sebenarnya berpangkal pada ini.
Allah SWT mencipta Al-Qur’an sebegitu fleksibelnya hingga dapat menyesuaikan
yang membaca dan yang memahaminya. Dari sinilah kemudian Ibnu Rusyd dinyatakan
sebagai seorang yang menyebarkan ajaran ganda. Meski kalau kita pahami lanjut
sebenarnya tidak ada itu yang namanya kebenaran ganda, yang ganda mungkin
pemahamannya saja. Jelas pembelaan yang luar biasa oleh Ibnu Rusyd pada
filsafat. Namun, mengalir dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Ibnu Rusyd
cenderung pada rasionalitas, dan agak mengesampingkan peran wahyu.
Selanjutnya, lima hal yang harus dimiliki seseorang yang ingin
mendalami filsafat menurut Ibnu Rusyd adalah sebagai berikut :[20]
Pertama,
bakat alam. Menurut Ibnu Rusyd seseorang yang ingin mendalami harus memiliki
bekal awal yaitu nalar. Tidak semua orang memiliki kemampuan dan minat yang
sama dalam mendalami filsafat. Jadi ini penting untuk diperhatikan. Bekal otak
yang cerdas.
Kedua, tertib.
Seorang yang ingin berhasil menjadi filsuf harus mempelajari filsafat secara
sistematis dan berurutan, agar tidak ada kerancuan-kerancuan.
Ketiga,
objektivitas. Kejujuran untuk mengatakan benar dan tidak pada sebuah pemikiran
adalah hal penting lain yang harus dimiliki seorang calon filsuf. Ketika
mendapatkan satu kebenaran dalam suatu pemikiran katakanlah itu kebenaran,
tanpa mengurangi atau melebihkan.
Keempat,
keteguhan pendapat. Ketika seorang filsuf mendapatkan kepastian dalam
pemikirannya, maka sikap yang patut adalah mempertahankan pemikirannya itu
dengan sungguh. Dalam kamus seorang filsuf tidak ada yang namanya kemunafikan
pemikiran. Ketika ia menyatakan kebenaran satu hal maka ia harus
mempertahankannya mati-matian.
Kelima,
keutamaan akhlak. Seseorang yang ingin mendalami filsafat harus benar-benar
meniatkan dirinya untuk fokus hanya pada pengetahuan dan kebaikan.
Demikianlah lima hal yang diajarkan Ibnu Rusyd untuk mengaktualkan
diri dalam dunia pemikiran.
6. KESIMPULAN
Ibnu Rusyd adalah seorang pemikir yang berupaya melakukan berbagai
usaha pembelaanya terhadap filsafat
dengan menyatakan bahwa antara filsafat dan syariat tidaklah bertentangan.
Terhadap filsafat Aristoteles, ia berupaya untuk memberikan pemahaman yang
lebih obyektif terhadap filsafat Aristoteles, karena jika dipahami lebih
lanjut, filsafat Aristoteles tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Ibnu Rusyd juga termasuk salah satu seorang filsuf Islam yang
mementingkan akal daripada perasaan. Menurutnya semua persoalan agama harus
dipecahkan dengan kekuatan akal. Dalam hal ini termasuk ayat-ayat berkaitan
erat dengan akal. Walau demikian, dalam pemikirannya selalu memperhatikan
konteks kehidupan masyarakat.
Dengan keterbukaan, ia menerima dengan baik ajaran dari para filsuf
sebelumnya, dan mampu menyatakan kembali ajaran-ajaran yang diperolehnya itu
dengan jernih. Dengan ketajaman pikiran, ia dapat melakukan pembedaan,
penyaringan terhadap ajaran-ajaran yang umumnya dijumpai melalui perantara
dengan cermat, sehingga kekeliruan ajaran yang sampai kepadanya dapat
dibersihkan kembali.
Dalam pemikiran hukum, Ibnu Rusyd menggunakan metode intiqa’i,
yaitu melihat berbagai pendapat para
imam madzhab beserta dalil dan metoda yang mereka gunakan, membandingkan dan
memilih salah satu yang paling kuat dan lebih sesuai untuk diterapkan.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Abdullah Siddik, Mr., Islam dan Filsafat,
Jakarta : Triputra Masa, 1984.
2.
Ahmad
Fu`ad Al-Ahwany, al-Falsafah al-Islamiyyah, Kairo : Maktaba al-Saqafiyyat,
1962.
3.
Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2004.
4.
Mulyadi
Kertanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, Jakarta, Paramadina, 2000.
5.
Poerwantana,
Drs., dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991.
6.
Sudarsono,
Drs. SH., M.Si, Filsafat Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 2004.
7.
T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafah fi al-Islam,
Terjemahan Muhammad `Abd al-Hady Abu Zaidah, Kairo : Mathba`at At-Taklif, 1962.
8.
Zuhairi
Misrawi, Ibnu Rusyd, Gerbang Pencerahan Timur dan Barat, Jakarta, P3M, 2007.
9.
Referensi
dari internet :
http://mickeydza90.blogspot.com/2009/05/pemikiran-filsafat-ibnu-rusyd.html
http://khofif.wordpress.com/2010/04/29/pola-pemikiran-ibnu-rusyd-tentang-pendidikan-agama-islam-2/
http://budiatturats.wordpress.com/2009/12/08/benarkah-filsafat-mengantarkan-ibnu-rusyd-menjadi-kafir-tulisan-sederhana-ini-akan-mencoba-menjawabnya/#_ftn26
[1]
Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, (Jakarta : Dian Rakyat, 2008), hal. 12-13.
[2][2]
Prof. Dr. Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986), hal. 314.
[3]
Ahmad Fu`ad Al-Ahwany, A History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden : Otto
Harrossowitz, 1963), hal. 540.
[4]
Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2004), hal. 21-22.
[5]
Mr. Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, (Jakarta : Triputra Masa, 1984), hal.
126-127.
[6]
Ahmad Fu`ad Al-Ahwany, al-Falsafah
al-Islamiyyah, (Kairo : Maktaba al-Saqafiyyat, 1962), hal. 100.
[7]
Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1991), hal. 199.
[8]
T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, Terjemahan Muhammad `Abd Al-Hady
Abu Zaidah,( Kairo : Mathba`at al-Taklif, 1962), hal. 257.
[9]
Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hal.
94-95.
[10]
Mr. Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, hal. 127.
[11]
Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, hal. 96-97
[12]
Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, hal. 201.
[13]
Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, hal. 38.
[14]
Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, hal. 99.
[15]
Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, hal. 204
[16]
Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, hal. 205
[17]
Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, hal. 102-104.
[18]
Mulyadi Kertanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago,(
Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 48
[19]
Mulyadi Kertanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, hal. 50-51.
[20]
Zuhairi Misrawi, Ibnu Rusyd, Gerbang Pencerahan Timur dan Barat,( Jakarta: P3M,
2007), hal. 167 – 168.
No comments:
Post a Comment