Wednesday, 1 March 2017

PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IBNU TAYMIYYAH



PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IBNU TAYMIYYAH
Oleh : Heru Prasetyo


Pendahuluan
Abad ke-13 M merupakan periode malapetaka besar bagi sejarah Islam. Dunia Muslim belum lagi pulih dari porakporanda Perang Salib yang panjang itu, bencana yang lebih buruk datang pula melanda. Suku Mongol menyerbu negara Muslim, memusnahkan kekayaan intelektual dan cultural yang menumpuk selama berabad-abad pemerintahan Muslim, dan membunuh jutaan kaum Muslimin. Baghdad, kota Seribu Satu Malam yang tersohor itu, kota intelektual dan cultural Metropolitan Islam, tanpa memperhatikan keberatan dunia dirampok oleh Hulaku Khan, sang Mongol, pada 1258 M. Seluruh warisan cultural dan intelektual kota itu dibakar menjadi abu, atau dicampakan ke Sungai Tigris.
Pada kurun waktu dan huru-hara dan bencana sepeti itulah lahir Ibn Taimiyah, seorang pemikir agama yang berpengaruh besar terhadap dunia pemikiran Islam. Pemikir bebas dan penganut kemerdekaan hati nurani. Ia merupakan seorang yang dipetanyakan oleh sebagian ummat, tetapi dimuliakan oleh semuanya, karya serta teladan hidunya menjadi sumber ilham bagi setiap orang. Dia adalah kepahlawanan yang idup, yang diuji dalam kesengsaraan dan godaan, dukacita dan penderitaan, yang dipersembahkannya untuk kebaikan agama, kebenaran, dan keutamaan hati nurani manusia.[1]

Tidak heran kalau saat dewasa Ibnu Taimiyah menjadi seorang yang berpengaruh karena kesalehan dan kemampuan intelektualnya melebihi kebanyakan manusia. Ibnu Hajar Al-Asqalani menuturkan panjang lebar tentang ilmu Ibnu Taimiyah melalui tulisan Al-Hafid Al-Dzahabi, murid Ibnu
Taimiyah. Menurut adz-Dzahabi seorang yang melihat kehebatan Ibnu Taimiyah dalam masalah khilafiyah, maka ia akan heran dan kagum, Ibnu Taimiyah mampu mentarjih dan membandingkan segala perbedaan dengan argument yang kuat, dia berhak berijtihad sendiri karena syarat-syarat mujtahid telah dipenuhi. Sifatnya sangat dermawan, pemberani dan tidak pernah menyimpan dendam. Ibn Taimiyah adalah ahli fikih mazhab Hambali. Pengaruh pemikirannya sangat besar terhadap gerakan Wahhabi, dakwah gerakan Sanusi, dan kelompok-kelompok agama yang ekstrem yang ada di dunia Islam saat ini.[2]

Pembahasan

Biografi Singkat Ibnu Taimiyah
Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad Bin Hambal Bin Abdul Alhalim Bin Abdillah Bin Al-Khadir Bin Muhammad Bin Alkhadr Bin Ali Bin Abdillah Taimiyah. Dilahirkan pada 10 Robi’ul Awwal 661 H bertepatan dengan 22 Januari 1263 M. wafat di Damaskus pada tanggal 20 Dzulhijjah 728 H bertepatan dengan 26 September 1328. Jadi beliau berumur sekitar 65 tahun. Dia merupakan putra dari Syihab Addin Abd-Al Halim Ibnu Abd Salam yang merupakan ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di Masjid Agung Damaskus.[3]
Ibnu Taimiyah sendiri sejak kecil dekenal sebagai anak yang mempunyai kecerdasan otak luar biasa, tinggi kemauan dalam belajar, ikhlas, tegas dan teguh dalam menyatakan dan mempertahankan pendapat. Sebagian banyak ilmu yang beliau dapatkan dari ayahnya sendiri serta dari beberapa guru beliau diantaranya: Ibnu Abuddayyim dan Ibnu Abi Yasir. Yang paling banyak dipelajari adalah Ilmu Hadist dan Fiqih terutama madzhab Hambali. Ilmu yang mula-mula dipelajari Ibnu Taimiyah adalah Al-Qur’an, Hadits. Kemudian bahasa arab, ilmu Al-Qur’an, ilmu Hadits, fiqh, ushulul fiqh, dan erbgai disiplin lainya yang mengantarkannya menjadi orang yang memiliki keahlian dalam seluruh cabang ilmu tersebut.[4]
Semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya. Begitu tiba di Damaskus, ia segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, hafizh dan ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang. Ketika umurnya belum mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin dan mendalami bidang-bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Ia telah mengkaji Musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian Kutubu Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu kali ketika ia masih kanak-kanak, pernah ada seorang ulama besar dari Aleppo, Suriah yang sengaja datang ke Damaskus khusus untuk melihat Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, iapun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya, sehingga ulama tersebut berkata: "Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah sepertinya” [5]
Pemikiran dan pandangan keagamaan serta lainnya dari Ibnu Taimiyah dapat dijumpai Majma’ Fatawa Ibn Taimiyah yang berjumlah 37 jilid, Manhaj as-sunah. Sedangakan karya-karyanya meliputi berbagai bidang keilmuan, seperti, tafsir, ilmu tafsir, hadits, ilmu hadits, fiqh, ushulul fiqh, akhlaq, tasawuf, mantiq, filsafat, politik, pemerintahan, tauhid, dan lain-lain.


Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Pendidikan Islam
Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang pendidikan Islam berkisar pada beberapa hal yaitu falsafah pendidikan, tujuan pendidikan serta metode pengajaran.[6] Tapi Abuddin Naata menambahinya dengan kurikulum dan hubungan pendidikan dengan kebudayaan.
1.      Falsafah Pendidikan Islam
Falsafah pendidikan menurut beliau adalah ilmu yang bermanfaat merupakan asas bagi kehidupan yang cerdas dan unggul. Sementara memepergunakan ilmu itu dapat menjamin kelestarian dan kelangsungan masyarakat, tanpa itu masyarakat akan terjerumus ke dalam kehidupan yang sesat. Jadi ilmu yang bermanfaat intinya adalah mengajak pada kehidupan yang benar yang diarahkan pada hubungan dengan Tuhan serta dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan makhluk serta memperteguh rasa kemanusian. Menurut Ibnu Taimiyah, menuntut ilmu itu ibadah, memahaminya merupakan ketaqwaan, mengkajinya merupakan jihad, mengajarkan merupakan shadaqah, dan mendiskusikannya merupakan tasbih.[7]
Dasar “tauhid” yaitu keyakinan yang benar tentang ke-mahaesaan Allah, yang mengandung kepercayaan yang mendalam, bahwa tidak ada kekuatan dak kekuasaan selain-nya yang beleh disembah, tidak ada harapan dan permohonan yang diajukan kecuali kepadanya. Tauhid ini mencangkup tiga dimensi yaitu:
a.    Tauhid rububiyah meyakini bahwa Allah itu esa, yang menciptakan semua mahluq, mengatur dan membimbingnya.
b.    Tauhid uluhiyyah meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya tuhan yang pantas disebut tuhan, di taati dan dipatuhi segala perintahnya serta menjauhi segala laranganya.
c.    Asmma dan sifat meyakini bahwa segala yang berjalan dalam kenyataan di alam raya ini merupakan aturan Tuhan.

2.      Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam yang harus dicapai menurut Ibnu Taimiyah
meliputi tiga hal:
a.       Tujuan Individual
Tujuan pendidikan harus diarahkan pada terbentuknya pribadi yang baik, yaitu seorang yang berfikir, merasa dan bekerja pada berbagai lapangan kehidupan pada setiap waktu sejalan dengan apa yang ada pada al Qur’an dan as Sunnah. Pribadi yang baik menurutnya adalah pribadi yang sempurnah kepribadiannya yaitu mereka yang lurus jalan pikiran serta jiwanya, bersih keyakinannya, kuat jiwanya serta sanggup menajalankan perintah Alloh SWT.
b.      Tujuan Sosial
Bahwa pendidikan Islam harus diarahakan pada terciptanya masyarakat yang baik dan sejalan dengan ketentuan alQur’an dan As-Sunnah dimana manusia bisa hidup bersama dengan orang lain, saling membantu, saling menasehati serta membantu mengatasi masalah orang lain dan lain sebagainya.
c.       Tujuan Dakwah Islamiyah
Tujuan pendidikan harus bisa mengarahkan ummat agar siap dan mampu memikul tugas dakwah Islamiyah keseluruh dunia. Hal ini didasarkan bahwa Allah mengutus para Rasulnya untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan, sehingga segenap manusia mau menerima dan mengikuti ajarannya.
3.      Metode Pengajaran
Menurut Ibnu Taimiyah secara garis besar metode pengajaran dapat dibagi dua hal yaitu Metode Ilmiyah dan Metode Iradiyah. Hal ini didasarkan bahwa Al Qalb (hati) merupakan alat utama untuk belajar. Hatilah yang mengendalikan semua angota badan dan mengarahkan jalannya.
Hati sendiri menurut beliau memiliki dua daya yaitu Daya Ilmiyah (daya berfikir) dan Daya Al-Iradiyah yaitu kecendrungan untuk mengamalkan apa yang dipikirkan. Pemikiran tersebut dimulai dari hati dan akan berakhir di hati, dan ketika Iradah (kehendaknya dalam melakukan sesuatu) bermula di dalam hati menuju kesemua anggota badan dan pada puncaknya penggunaan daya tersebut di dalam akal. Dengan demikian akal merupakan sifat yang terdapat pada hati yaitu pemikiran dan kemauan.
4.      Kurikulum
Secara umum menurut Ibnu Taimiyah, kurikulum seharusnya mengarahkan peserta didik ke arah yang sesuai dengan tuntunan agama Islam. Lebih jelasnya kurikulum seharusnya sejalan dengan tujuan yang akan dicapai dalam pendidikan itu sendiri. Menurut beliau kurikulum secara ringkas memuat beberapa hal sebagaimana berikut ini:
a.       Kurukulum yang berhubungan dengan mengesakan Tuhan
b.      Kurikulum yang berhubungan dengan mengetahui secara mendalam terhadap ilmu-ilmu Allah.
c.       Kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang mendorong manusia mengetahui secara mendalam (ma’rifat) terhadap kekuasaan Allah.
d.       Kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang mendorong untuk mengetahui perbuatan-perbuatan Allah.[8]
Dari hal tersebut di atas, Ibnu taimiyah membagi ilmu dalam 2 bagian.
Pertama : Ilmu yang berkaitan dengan mendidik, mengajar dan membimbing manusia tentang aqidah. Dan disebut sebgai sam’iyat.
Kedua : ilmu yang berhubungan degan pembinaan fisik dan akal. Yang semuanya bersifat ‘aqliyah.
Sedangkan ruang lingkup Kurikulum adalah;
Ilmu agama, yang didalamnya mempelajari seluruh ilmu yang berkenaan dengan aqidah dan segala bentuk peribadatan kepada Allah.
Ilmu ‘aqliyah, seperti matematika,kedokteran dan lain-lain, tujuannya adalah untuk menyaksikan ayat-ayat Allah yang terdapat di jagat raya, jadi ini merupakan gabungan antara dalil dan akal.
Ilmu askariyah, ilmu dalam rangka menjawab kebutuhan zaman dan memenuhi para peneliti yang menghendaki agar ilmu tetap sejalan dengan perkembangan zaman.
5.      Etika Guru dan Murid
a.       Etika Guru terhadap murid.
1.      Senantiasa saling menolong dalam ketaqwaan dan kebaikan.
2.      Dapat menjadi panutan dalam hal kebaikan sifat dan perilaku.
3.      Menyebarkan ilmu dengan serius dan tidak sembrono.
4.      Senantiasa menghafal dan menambah ilmunnya.[9]
b.      Etika murid kepada guru
1.      Seorang murid harus mempunyai niat baik dalam menuntut ilmu.
2.      Mau menerima setiap ilmu selama ia mengetahui sumbernya.
3.      Tidak menolak dan meremehkan madzhab lain.

Penutup
            Konsep pendidikan yang dikemukakannya tampak sangat dipengaruhi oleh pandangannya terhadap manusia yang harus dididik, dalam rangka menjalankan fungsi sosialnya ditengah-tengah masyarakat. Ilmu yang bermanfaat merupakan asas bagi kehidupan yang cerdas dan unggul. Sementara memepergunakan ilmu itu dapat menjamin kelestarian dan kelangsungan masyarakat, tanpa itu masyarakat akan terjerumus ke dalam kehidupan yang sesat. Jadi ilmu yang bermanfaat intinya adalah mengajak pada kehidupan yang benar yang diarahkan pada hubungan dengan Tuhan serta dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan makhluk serta memperteguh rasa kemanusian.


Daftar Pusaka
http://arisandi.com/ibn-taimiyah/
http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Taimiyah
Husayn, Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Nata, Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 2000.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana, 2005.


[1] http://arisandi.com/ibn-taimiyah/
[2] Ahmad Amin Husayn, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, h.229
[3] Abudin Natta, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta,  PT. Grafindo Persada, 2000. hal.129
[4] Ibid, hal 132
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Taimiyah
[6] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,Jakarta,  Kencana, 2005. hal.85
[7] Abudin Natta, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 2000. hal.138
[8] Ibid, hal145
[9] Abudin Natta, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 2000. hal.155

No comments:

Post a Comment