PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IBNU TAYMIYYAH
Oleh : Heru Prasetyo
Pendahuluan
Abad
ke-13 M merupakan periode malapetaka besar bagi sejarah Islam. Dunia Muslim
belum lagi pulih dari porakporanda Perang Salib yang panjang itu, bencana yang
lebih buruk datang pula melanda. Suku Mongol menyerbu negara Muslim,
memusnahkan kekayaan intelektual dan cultural yang menumpuk selama berabad-abad
pemerintahan Muslim, dan membunuh jutaan kaum Muslimin. Baghdad, kota Seribu
Satu Malam yang tersohor itu, kota intelektual dan cultural Metropolitan Islam,
tanpa memperhatikan keberatan dunia dirampok oleh Hulaku Khan, sang Mongol,
pada 1258 M. Seluruh warisan cultural dan intelektual kota itu dibakar menjadi
abu, atau dicampakan ke Sungai Tigris.
Pada
kurun waktu dan huru-hara dan bencana sepeti itulah lahir Ibn Taimiyah, seorang
pemikir agama yang berpengaruh besar terhadap dunia pemikiran Islam. Pemikir
bebas dan penganut kemerdekaan hati nurani. Ia merupakan seorang yang
dipetanyakan oleh sebagian ummat, tetapi dimuliakan oleh semuanya, karya serta
teladan hidunya menjadi sumber ilham bagi setiap orang. Dia adalah kepahlawanan
yang idup, yang diuji dalam kesengsaraan dan godaan, dukacita dan penderitaan,
yang dipersembahkannya untuk kebaikan agama, kebenaran, dan keutamaan hati
nurani manusia.[1]
Tidak heran kalau saat dewasa Ibnu Taimiyah menjadi seorang yang
berpengaruh karena kesalehan dan kemampuan intelektualnya melebihi kebanyakan
manusia. Ibnu Hajar
Al-Asqalani menuturkan panjang lebar tentang ilmu Ibnu Taimiyah melalui tulisan
Al-Hafid Al-Dzahabi, murid Ibnu
Taimiyah. Menurut adz-Dzahabi seorang yang
melihat kehebatan Ibnu Taimiyah dalam masalah khilafiyah, maka ia akan heran
dan kagum, Ibnu Taimiyah mampu mentarjih dan membandingkan segala perbedaan
dengan argument yang kuat, dia berhak berijtihad sendiri karena syarat-syarat
mujtahid telah dipenuhi. Sifatnya sangat dermawan, pemberani dan tidak pernah
menyimpan dendam. Ibn Taimiyah
adalah ahli fikih mazhab Hambali. Pengaruh pemikirannya sangat besar terhadap
gerakan Wahhabi, dakwah gerakan Sanusi, dan kelompok-kelompok agama yang
ekstrem yang ada di dunia Islam saat ini.[2]
Pembahasan
Biografi
Singkat Ibnu Taimiyah
Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad Bin Hambal Bin Abdul Alhalim Bin Abdillah
Bin Al-Khadir Bin Muhammad Bin Alkhadr Bin Ali Bin Abdillah Taimiyah. Dilahirkan pada 10 Robi’ul Awwal 661 H bertepatan dengan 22
Januari 1263 M. wafat di Damaskus pada tanggal 20 Dzulhijjah 728 H bertepatan dengan 26
September 1328. Jadi beliau berumur sekitar 65 tahun. Dia merupakan putra dari Syihab Addin
Abd-Al Halim Ibnu Abd
Salam yang merupakan ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di Masjid
Agung Damaskus.[3]
Ibnu Taimiyah sendiri sejak kecil dekenal sebagai anak yang mempunyai
kecerdasan otak luar biasa, tinggi kemauan dalam belajar, ikhlas, tegas dan
teguh dalam menyatakan dan mempertahankan pendapat. Sebagian banyak ilmu yang
beliau dapatkan dari ayahnya sendiri serta dari beberapa guru beliau
diantaranya: Ibnu Abuddayyim dan Ibnu Abi Yasir. Yang paling banyak dipelajari
adalah Ilmu Hadist dan Fiqih terutama madzhab Hambali. Ilmu
yang mula-mula dipelajari Ibnu Taimiyah adalah Al-Qur’an, Hadits. Kemudian
bahasa arab, ilmu Al-Qur’an, ilmu Hadits, fiqh, ushulul fiqh, dan erbgai
disiplin lainya yang mengantarkannya menjadi orang yang memiliki keahlian dalam
seluruh cabang ilmu tersebut.[4]
Semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya. Begitu
tiba di Damaskus, ia
segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama,
hafizh dan ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat
para tokoh ulama tersebut tercengang. Ketika umurnya belum mencapai belasan
tahun, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin dan mendalami bidang-bidang tafsir, hadits,
dan bahasa Arab. Ia telah mengkaji Musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali,
kemudian Kutubu Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu
kali ketika ia masih kanak-kanak, pernah ada seorang ulama besar dari Aleppo, Suriah yang
sengaja datang ke Damaskus khusus untuk melihat Ibnu Taimiyah yang
kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan
cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu
menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan
kepadanya beberapa sanad, iapun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan
menghafalnya, sehingga ulama tersebut berkata: "Jika anak ini hidup,
niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang
bocah sepertinya” [5]
Pemikiran dan
pandangan keagamaan serta lainnya dari Ibnu Taimiyah dapat dijumpai Majma’
Fatawa Ibn Taimiyah yang berjumlah 37 jilid, Manhaj as-sunah. Sedangakan
karya-karyanya meliputi berbagai bidang keilmuan, seperti, tafsir, ilmu tafsir,
hadits, ilmu hadits, fiqh, ushulul fiqh, akhlaq, tasawuf, mantiq, filsafat,
politik, pemerintahan, tauhid, dan lain-lain.
Pemikiran Ibnu
Taimiyah Tentang Pendidikan Islam
Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang pendidikan Islam berkisar pada beberapa
hal yaitu falsafah pendidikan, tujuan pendidikan serta
metode pengajaran.[6] Tapi Abuddin Naata menambahinya dengan
kurikulum dan hubungan pendidikan dengan kebudayaan.
1.
Falsafah
Pendidikan Islam
Falsafah pendidikan menurut beliau adalah ilmu yang bermanfaat merupakan asas
bagi kehidupan yang cerdas dan unggul. Sementara memepergunakan
ilmu itu dapat menjamin kelestarian dan kelangsungan masyarakat,
tanpa itu masyarakat akan terjerumus ke dalam kehidupan yang sesat.
Jadi ilmu yang bermanfaat intinya adalah mengajak pada kehidupan yang benar
yang diarahkan pada hubungan dengan Tuhan serta dihubungkan dengan
kenyataan-kenyataan makhluk serta memperteguh rasa kemanusian. Menurut Ibnu
Taimiyah, menuntut ilmu itu ibadah, memahaminya merupakan ketaqwaan,
mengkajinya merupakan jihad, mengajarkan merupakan shadaqah, dan
mendiskusikannya merupakan tasbih.[7]
Dasar “tauhid” yaitu keyakinan yang benar tentang ke-mahaesaan
Allah, yang mengandung kepercayaan yang mendalam, bahwa tidak ada kekuatan dak
kekuasaan selain-nya yang beleh disembah, tidak ada harapan dan permohonan yang
diajukan kecuali kepadanya. Tauhid ini mencangkup tiga dimensi yaitu:
a. Tauhid rububiyah meyakini bahwa
Allah itu esa, yang menciptakan semua mahluq, mengatur dan membimbingnya.
b.
Tauhid
uluhiyyah meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya tuhan yang pantas disebut
tuhan, di taati dan dipatuhi segala perintahnya serta menjauhi segala
laranganya.
c.
Asmma
dan sifat meyakini bahwa segala yang berjalan dalam kenyataan di alam raya ini
merupakan aturan Tuhan.
2.
Tujuan
Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam yang harus dicapai menurut Ibnu Taimiyah
meliputi tiga hal:
a.
Tujuan
Individual
Tujuan
pendidikan harus diarahkan pada terbentuknya pribadi yang baik, yaitu seorang
yang berfikir, merasa dan bekerja pada berbagai lapangan kehidupan pada setiap
waktu sejalan dengan apa yang ada pada al Qur’an dan as Sunnah. Pribadi yang
baik menurutnya adalah pribadi yang sempurnah kepribadiannya yaitu mereka yang
lurus jalan pikiran serta jiwanya, bersih keyakinannya, kuat jiwanya serta
sanggup menajalankan perintah Alloh SWT.
b.
Tujuan
Sosial
Bahwa pendidikan Islam harus diarahakan pada terciptanya masyarakat
yang baik dan sejalan dengan ketentuan alQur’an dan As-Sunnah
dimana manusia bisa hidup bersama dengan orang lain, saling membantu,
saling menasehati serta membantu mengatasi masalah orang lain
dan lain sebagainya.
c.
Tujuan
Dakwah Islamiyah
Tujuan
pendidikan harus bisa mengarahkan ummat
agar siap dan mampu memikul
tugas dakwah Islamiyah keseluruh dunia. Hal ini didasarkan
bahwa Allah mengutus para Rasulnya untuk memberi kabar gembira
dan memberi peringatan, sehingga segenap manusia mau menerima
dan mengikuti ajarannya.
3.
Metode
Pengajaran
Menurut Ibnu Taimiyah secara garis besar metode pengajaran dapat dibagi
dua hal yaitu Metode Ilmiyah dan Metode Iradiyah. Hal ini didasarkan
bahwa Al Qalb (hati) merupakan alat utama untuk belajar. Hatilah
yang mengendalikan semua angota badan dan mengarahkan jalannya.
Hati sendiri menurut beliau memiliki dua daya yaitu Daya Ilmiyah
(daya berfikir) dan Daya Al-Iradiyah yaitu kecendrungan untuk mengamalkan
apa yang dipikirkan. Pemikiran tersebut dimulai dari hati dan akan berakhir di
hati, dan ketika Iradah (kehendaknya dalam melakukan sesuatu) bermula di dalam
hati menuju kesemua anggota badan dan pada puncaknya penggunaan daya tersebut
di dalam akal. Dengan demikian akal merupakan
sifat yang terdapat pada hati yaitu pemikiran dan kemauan.
4.
Kurikulum
Secara umum
menurut Ibnu Taimiyah, kurikulum seharusnya mengarahkan
peserta didik ke arah yang sesuai dengan tuntunan agama Islam.
Lebih jelasnya kurikulum seharusnya sejalan dengan tujuan yang akan
dicapai dalam pendidikan itu sendiri. Menurut beliau kurikulum secara ringkas
memuat beberapa hal sebagaimana berikut ini:
a.
Kurukulum
yang berhubungan dengan mengesakan
Tuhan
b.
Kurikulum
yang berhubungan dengan mengetahui secara
mendalam terhadap ilmu-ilmu
Allah.
c.
Kurikulum
yang berhubungan dengan upaya yang
mendorong manusia mengetahui
secara mendalam (ma’rifat) terhadap
kekuasaan Allah.
d.
Kurikulum yang berhubungan dengan upaya
yang mendorong untuk mengetahui perbuatan-perbuatan
Allah.[8]
Dari hal
tersebut di atas, Ibnu taimiyah membagi ilmu dalam 2 bagian.
Pertama : Ilmu yang berkaitan dengan
mendidik, mengajar dan membimbing manusia tentang aqidah. Dan disebut sebgai
sam’iyat.
Kedua : ilmu yang berhubungan degan pembinaan fisik dan akal. Yang
semuanya bersifat ‘aqliyah.
Sedangkan
ruang lingkup Kurikulum adalah;
Ilmu agama, yang didalamnya mempelajari
seluruh ilmu yang berkenaan dengan aqidah dan segala bentuk peribadatan kepada
Allah.
Ilmu ‘aqliyah, seperti matematika,kedokteran dan lain-lain, tujuannya
adalah untuk menyaksikan ayat-ayat Allah yang terdapat di jagat raya, jadi ini
merupakan gabungan antara dalil dan akal.
Ilmu askariyah, ilmu dalam rangka menjawab kebutuhan
zaman dan memenuhi para peneliti yang menghendaki agar ilmu tetap sejalan
dengan perkembangan zaman.
5. Etika Guru dan Murid
a. Etika Guru terhadap murid.
1. Senantiasa saling menolong dalam ketaqwaan
dan kebaikan.
2. Dapat menjadi panutan dalam hal kebaikan
sifat dan perilaku.
3. Menyebarkan ilmu dengan serius dan tidak
sembrono.
4. Senantiasa menghafal dan menambah ilmunnya.[9]
b. Etika murid kepada guru
1. Seorang murid harus mempunyai niat baik
dalam menuntut ilmu.
2. Mau menerima setiap ilmu selama ia
mengetahui sumbernya.
3. Tidak menolak dan meremehkan madzhab lain.
Penutup
Konsep pendidikan yang dikemukakannya tampak
sangat dipengaruhi oleh pandangannya terhadap manusia yang harus dididik, dalam
rangka menjalankan fungsi sosialnya ditengah-tengah masyarakat. Ilmu
yang bermanfaat merupakan asas
bagi kehidupan yang cerdas dan unggul. Sementara memepergunakan
ilmu itu dapat menjamin kelestarian dan kelangsungan masyarakat,
tanpa itu masyarakat akan terjerumus ke dalam kehidupan yang sesat.
Jadi ilmu yang bermanfaat intinya adalah mengajak pada kehidupan yang benar yang
diarahkan pada hubungan dengan Tuhan serta dihubungkan dengan
kenyataan-kenyataan makhluk serta memperteguh rasa kemanusian.
Daftar Pusaka
http://arisandi.com/ibn-taimiyah/
http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Taimiyah
Husayn, Ahmad Amin, Seratus
Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Nata, Abudin, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta, PT.
Grafindo Persada, 2000.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana, 2005.
[1] http://arisandi.com/ibn-taimiyah/
[3] Abudin Natta, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 2000. hal.129
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Taimiyah
[7] Abudin Natta, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta, PT.
Grafindo Persada, 2000. hal.138
[9] Abudin Natta, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
Islam, Jakarta, PT. Grafindo
Persada, 2000. hal.155
No comments:
Post a Comment