Wednesday, 1 March 2017

PEMIKIRAN IBNU KHALDUN DALAM PENDIDIKAN ISLAM



PEMIKIRAN IBNU KHALDUN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Heru Prasetyo
Pendahuluan
Ibnu Khaldun merupakan salah seorang ulama besar yang dihormati, sehingga kemasyhurannya beliau senantiasa bersinar di setiap zaman, sehingga sekarang ramai orang yang menaruh perhatian terhadap idea dan pemikirannya. Beliau terkenal sebagai ahli sejarah yang bijaksana, ahli ekonomi dan perancang pendidikan dalam memakmurkan masyarakat sebagaimana yang ditulis dalam kitabnya Muqaddimah. Disebabkan oleh keahliannya, beliau dipandang bagaikan bintang yang bersinar dalam kegelapan pada zamannya, meskipun beberapa ketentuan perundangan yang berkaitan dengan kekuasaan politik kerajaan yang dzalim tidak lagi sesuai dengan sistem perundangan masa kini.
Bagaimanapun, beliau tetap dipandang sebagai seorang alim yang memiliki kepribadian unggul dan cemerlang fikirannya, sebab beliau banyak menggunakan idea-idea yang tidak dapat dibantah, berwatak asli yang pantas dijadikan teladan. Beliau juga memiliki kecerdasan tinggi, berpandangan luas dalam menganalisis berbagai peristiwa yang terjadi semasa hidupnya. Sehingga seluruh gejala dari peristiwa tersebut dapat beliau jawab melalui pemikiran yang kreatif dengan menetapkan hukum-hukum secara logik dan didukung oleh fakta-fakta yang lengkap dan sahih.

Latar Belakang Pemikir Ibnu Khaldun
Adalah Ibnu Khaldun pendiri ilmu sosial dan ahli sejarah terbesar, Abdurrahman Wali’uddin Muhammad Ibnu Khaldun, lahir di Tunisia pada 27 Mei 1332. Ayahnya adalah cendekiawan Islam terkemuka, sehingga ia mendapatkan pendidikan dasar dari ayahnya dan dari cendekiawan-cendekiawan Islam yang berkualitas. Sejak kecil kecerdasannya yang tinggi dan ide-ide filosofisnya telah menarik perhatian. Ketika ia berusia 20 tahun, dia ditunjuk oleh Sultan Fes sebagai sekretaris pribadinya. Akan tetapi ide-ide filosofisnya justru menjauhkan diri dari kelas Ulama, jadi ia meninggalkannya. Kemudian ia menjadi sekretaris pribadinya Sultan Marinid, Abu ‘Ivan. Berkat jasa posisi dan statusnya di istana Sultan, dia menjadi sangat kaya dan terkenal pada waktu yang sangat singkat, tetapi akibat persengketaan dia berakhir di penjara.
Empat puluh tahun lamanya, ia hidup di Benteng Oran. Selama empat tahun ia mengabdikan dengan sepenuh hati meneliti sejarah, merencanakan dirinya menulis sejarah dunia dan menulis bagian Muqaddimah (Pendahuluan). Untuk mengumpulkan materi buku ini, ia mengembara di satu tempat ke tempat yang lain, dari suatu perpustakaan ke perpustakaan lain. Akhirnya ia pergi ke Universitas Zaitun di Tunisia tahun 1380 dan tinggal di sana untuk meneruskan tulisannya Muqaddimah.[1]  
Ibnu Khaldun seorang cendekiawan terbesar di zamannya. Salah seorang pemikir terkemuka. Sebelum Khaldun, sejarah hanya berkisar pada pencatatan sederhana dari kejadian-kejadian tanpa ada pembeda antara fakta dan hasil rekaan.
Secara khas Ibnu Khaldun membedakan cara memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta memberikan alasan-alasan untuk mendukung kejadian-kejadian yang nyata. Seorang kritikus besar terkemuka mengatakan, “Tak ada seorangpun dalam perbendaharaan sastra kristen dari abad pertengahan yang pantas disejajarkan dengan sejarahnya Ibnu Khaldun dan tak satupun sejarawan kristen yang menulis sebuah versi dengan begitu gamblang dan tepat mengenai sejarah Islam. [2]
Ibnu Khaldun dalam proses pemikiran mengalami percampuran antara dua tokoh saling bertolak belakang, yaitu Al Ghozali dan Ibnu Rusyd. Al Ghazali sebagai penentang aristoteles, yang digunakan untuk menentang logikanya. Ibnu Rusyd sebagai pengikut aristoteles, digunakan untuk mempengaruhi massa.  
Pandangannya tentang Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Maka filsafat pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang pandangan filosofis dari sistem aliran filsafat dalam Islam terhadap masalah-masalah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia muslim dan umat Islam.[3]
Manusia senantiasa berada dan tidak mungkin bisa keluar dari ruangan pendidikan dunia. Karena sekolah lembaga pendidikan formal, dunia adalah sekolah terbesar bagi manusia, manusia memperoleh banyak hal tentang pengetahuan kehidupan. Jika manusia tidak sempat memperoleh pendidikan dari orang tuanya, zamanlah yang mendidiknya.
Ilmu dan pendidikan bagi Ibnu Khaldun merupakan salah satu gejala sosial yang menjadi ciri khas masyarakat insani. Ia telah meletakkan asas yang praktis realitis dan ilmiah dalam bidang pendidikan. Ia menjelaskan bahwa dalam pendidikan terdapat interaksi cultural secara umum dan peningkatan perkembangan akal melalui aktivitasnya, dimana hal ini akan melahirkan berbagai ilmu pengetahuan. Proses interaksi antara akal dengan aspek pengetahuan ini akan berlangsung secara konstan tanpa batas.
Pendidikan tidak pernah mengenal batas usia, tempat, waktu. Sebab ia akan selalu berfikir, berkreasi, beraktifitas, memiliki pengalaman, tujuan hidup, dan cara-cara metode tertentu. Karena tujuan pendidikan islam adalah memperoleh kebahagiaan dunia dan akherat.  
Pendidikan menurutnya akan berubah sesuai dengan perubahan sosial. Ibnu Khaldun tidak membenarkan tindakan guru yang keras  kepada muridnya, karena hal itu akan merusak akhlaq anak didik dan perilaku sosial. Guru harus mampu menarik perhatian muridnya, menjaga mereka hingga pikirannya terbuka dan berkembang sendiri. Guru harus membiasakan perilaku yang baik kepada muridnya, memberi contoh, tidak mengajari mereka dengan perkataan saja. Seorang guru harus menjadi contoh yang baik bagi muridnya.[4]
Pendidikan bukanlah aktivitas yang hanya bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek pragmatis, tetapi ilmu dan pendidikan suatu gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangan dalam tahapan kebudayaan. Ia juga sebagai gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Dengan pengertian luas, pendidikan bukan hanya dibatasi dengan empat dinding, tetapi proses dimana manusia sadar menangkap, menyerap, menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman. Manusia adalah bodoh tidak berilmu, tetapi Allah membedakannya dengan binatang. Ia diberi akal pikiran dengan proses pendengaran, penglihatan, dan akal.[5] 
Qur’an dan Hadist sebagai Dasar Tujuan Pendidikan Islam
            Tujuan Pendidikan Islam tidaklah selalu paten di sepanjang periode perkembangan Islam. Pada abad pertama Hijriyyah tujuan pendidikan Islam berbeda dengan tujuan pendidikan pada abad ke 4 Hijriyyah. Tujuan dan sasaran pendidikan Islam mengalami perkembangan pada abad-abad berikutnya. Pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam selama bersumber dari aliran rasionalisme dan keagamaan, yang diikuti para pendidik muslim. Akibatnya pendirian atau pandangan mereka serta tujuan-tujuan pendidikan yang mereka ikuti dalam pengajaran dan pendidikan saling berbeda menurut aliran paham mereka.[6]
            Tujuan pendidikan dalam ringkasannya al-Taumy pada buku Muqaddimah Ibnu Khaldun adalah menyiapkan seseorang dari segi keagamaan yang berlandaskan dari Qur’an dan hadist. Sebab dengan jalan itu potensi iman diperkuat, sebagaimana dengan potensi-potensi yang lain jika mendarah daging, seakan-akan menjadi fitrah.
            Menyiapkan seseorang dari segi akhlak. Bahwa hakekat pendidikan menurut Islam adalah menumbuhkan dan membentuk manusia yang sempurna melalui budi luhur dan akhlak mulia. Serta menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan dan sosial, dan juga menyiapkan dari segi vokasional dan pekerjaan, pemikiran dan kesenian.
            Maka target pendidikan memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja untuk terbukanya kematangan individu, karena kematangan itu sebagai alat kemajuan ilmu industri dan sistem sosial. Keseimbangan antara kehidupan dunia dan akherat. Khaldun bertujuan religius  dengan tidak menyampingkan tujuan dunia.[7]
Ilmu Pendidikan harus menjadi kurikulum pendidikan Islam
            Kurikulum pendidikan Islam berbeda-beda isinya menurut kondisi perkembangan agama Islam, karena kaum muslimin berada di dalam lingkungan dan negeri yang berbeda-beda, walaupun mereka sepakat bahwa kitab suci Al Qur’an dijadikan sumber pokok ilmu-ilmu agama dan umum. Dalam pendidikan Islam ada dua macam kurikulum, kurikulum khusus untuk pengajaran permulaan dan kuriulum untuk pengajar tingkat atas.
            Kurikulum tingkat dasar didasarkan atas dimulainya pendidikan terhadap anak-anak yang sedang bertumbuh, lalu berproses ke arah tingkat usia murohaqah atau usia dimana seseorang mampu berfikir. Maka kurikulum itu mencakup pendidikan bagi tingkat kanak-kanak dan murahaqah. Kurikulum tingkat atas berisi ilmu pengetahuan yang banyak jenisnya untuk dikembangkan dan didalami secara khusus, yaitu ilmu pengetahuan yang mengandung nilai intrinsik dan ilmu pengetahuan yang tidak bersifat intrinsik.[8]
            Pandangan Ibnu Khaldun tentang kurikulum tradisional, masih terbatas pada maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas dan tradisional. Adapun kurikulum modern mempunyai beberapa unsur, tujuan pendidikan, pengatahuan-pengetahuan, maklumat, data kegiatan dan pengalaman, metode pengajaran, dan metode penilaian yang digunakan.
            Ibnu Khaldun menyatakan ilmu pengetahuan harus dijadikan materi kurikulum lembaga pendidikan Islam mencakup tiga hal:[9]
Ilmu Lisan (bahasa) yang terdiri dari ilmu lughah, nahwu, sharaf, balaghah, bayan, ma’ani, adab dan sastra.
Ilmu Naqli yaitu ilmu-ilmu yang dinukil dari kitab suci Al Qur’an dan Sunnah nabi. Ilmu ini terdiri ilmu membaca (Qiraah) Qur’an dan ilmu Tafsir, sanad-sanad hadist dan pentashihnya serta istimbat  dan qanun-qanun fidyahnya.  Dari ilmu-ilmu itu anak terdidik untuk mengetahui hukum-hukum Allah yang diwajibkan atas ummat manusia. Dari ilmu-ilmu yang dapat digunakan untuk menganalisis ajaran Qur’an adalah ilmu Tafsir, Ilmu Hadist, Ushul Fiqh, melalui metode deduktif, induktif, dan istimbat.
Ilmu Aqli adalah ilmu yang dapat menunjukkan manusia melalui daya kemampuan berfikirnya kepada filsafat dan semua jenis ilmu mantiq, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu teknik, ilmu hitung, ilmu tentang tingkah laku, ilmu sihir ilmu dan ilmu nujum (kedua ilmu ini dilarang untuk dijadikan mata pelajaran, karena berlawanan dengan ilmu tauhid)
Bila dilihat dari urgensinya bagi pelajar, maka ibnu Khaldun memberikan pembagian ilmu pengetahuan tersebut secara kulikuler menjadi ilmu Syari’ah, filsafat, alat yang bersifat membantu ilmu-ilmu agama, alat yang membantu falsafah. 

Metode memudahkan proses pembelajaran dalam terlaksananya tujuan
Metode pendidikan anak hendaknya dengan menggunakan beberapa metode, karena anak-anak memiliki perbedaan-perbedaan watak yang membawanya, serta usia dan lingkungan. 
Ibnu Khaldun mengemukakan tentang metode pembelajaran, memberikan pengetahuan dengan problematika pokok yang umum dan menyeluruh dengan memperhatikan akal anak didik, kemudian membahas secara detail dan terperinci, dan membahas persoalan yang menyulitkan pemahaman dengan tujuan memperoleh pemahaman yang sempurna.
Beberapa metode mengajar yang harus selalu diperhatikan oleh guru antara lain:[10]
Metode pentahapan dan pengulangan, dengan artian pembelajaran hendaknya didasarkan prinsip-prinsip bahwa tahapan permulaan pengetahuan adalah bersifat total, kemudian secara bertahap, terperinci, sehingga anak dapat menerima dan memahami permasalahan pada tiap bagian dari ilmu yang diajarkan, lalu mendekatkan ilmu kepada pikirannya melalui penjelasan dan uraian-uraian sesuai dengan tingkat kemampuan berfikirnya. Kemudian guru mengulangi ilmu yang diajarkan itu agar anak-anak meningkat daya pemahamannya sampai taraf yang tertinggi melalui uraian dan pembuktian yang jelas.
Menggunakan sarana tertentu untuk menjabarkan pelajaran. Dalam artian digunakan alat peraga, karena anak pada waktu mulai belajar lemah dalam memahami dan kurang daya ingatannya. Anak bergantung kepada pancainderanya dalam proses penyusunan pengalamannya. Tujuan pemakaian metode ini adalah lebih memudahkan anak memahami pelajaran dan mengurangi kesalahan daya penerimaan ilmu yang diajarkan serta memperkecil pemahaman yang buruk.
Widya wisata merupakan alat untuk mendapatkan pengalaman langsung. Upaya ini sebagai sarana besar untuk mendapatkan pengetahuan secara langsung  di lapangan dan pengaruhnya kuat sekali dalam hati anak. Widya wisata dapat diartikan sebagai perjalanan menuntut ilmu dengan menemui guru-guru yang mempunyai keahlian khusus, dan belajar kepada para tokoh ulama dan ilmuwan terkenal.
قُلْ سِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ.[11]
Katakanlah: "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)."
Tidak memberikan presentasi yang rumit kepada anak yang baru belajar permulaan. Mengajar hendaknya jangan mengajarkan anak-anak dengan definisi-definisi dan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, akan tetapi guru memberikan contoh-contoh yang mudah dan membahas nas-nas serta mengistimbatkan yang khusus. Hal ini sangat menyulitkan anak dalam memahami ilmu pengetahuan karena usianya yang belum matang. Ini menyebabkan akal pikirannya dibebani dengan kesulitan dan rasa malas, bahkan memperkecil daya pikirannya yang akan berakhir pada apa yang dinamakan “kelumpuhan akademis”.
Harus ada keterkaitan dalam disiplin ilmu. Guru dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya mengaitkan dengan ilmu yang lainnya (jangan sampai terpisah-pisah). Karena dapat menyebabkan kelupaan, maka dalam mengajar diperlukan pengulangan sampai tiga kali tanpa terpisah-pisah, agar memudahkan orang tidak lupa.
Menghindari dari mengajarkan ilmu dengan ikhtisar. Metode ini dapat menghalangi murid dalam meningkatkan kemampuan-kemampuan kreativitas mereka. Disamping itu dapat melemahkan akal pikiran, dan mengacaukan system berfikir serta membuang-buang waktu belajar murid.
Sangsi terhadap murid merupakan salah satu motivasi dorongan semangat belajar. Sikap kasih sayang kepada anak dan tidak menggunakan kekerasan terhadap mereka sangat diperlukan. Beliau menganjurkan agar guru-guru, dan orang tua anak tidak berlaku kejam dalam mengajar dan mendidik anak. Dua prinsip dalam wasiatnya, yaitu langkah-langkah mengajar yang dianjurkan Harun Ar-Rasyid untuk anaknya amin, karena hukuman alat mendidik yang sangat penting, akan tetapi jangan dilakukan pendidik kecuali dalam keadaan terpaksa, tidak ada jalan lain. Metode yang kedua adalah prosedur mengajar dan mendidik anaknya.
Ibnu Khaldun telah banyak turut mewarnai pemikiran-pemikiran tentang pendidikan. Dari segi metode, materi, kurikulum yang ditawarkan untuk dikaji dan dicermati. Aktivitas pendidikan bukan hanya bersifat perenungan dan pemikiran saja, tetapi ia merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani, dan karenanya ia harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang bernama manusia. Karena orientasi pendidikan menurutnya adalah kemasyarakatan.
Bahasa merupakan syarat utama bagi keberhasilan suatu pendidikan. Dan metode yang digunakan bersifat intelektualitas, dengan prinsip memberikan kemudahan-kemudahan bagi anak didik demi terciptanya tujuan pendidikan.
Fonomena sosoal sebagai objek pembahasan sosiologi
Sebagaimana diketahui bahwa ia adalah pengasas sosiologi, karena dalam berbagai kitabnya, yang terutama dalam muqaddimahnya ia mengkaji “realitas-realitas al-‘umranal-basyari” atau keadaan kemasyarakatan manusia, yang mana keadaan tersebut dinamakan “fenomena-fenomena sosial”, dan inilah yang merupakan objek pembahasan sosiologi. Sebagaimana perkataannya dalam muqaddimah[12] “Ketahuilah bahwa sejarah adalah catatan tentang masyarakat ummah manusia atau kebudayaan dunia, tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu, seperti keprimitifan, keramahtamahan, dan solidaritas kelompok; tentang revolusi revolusi dan pemberontakan pemberontakan oleh sekelompok masyarakat melawan sekelompok masyarakat yang lain, yang berakibat timbulnya kekuasaan kekuasaan baru dengan berbagai macam peringkatnya; tentang macam macam kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya maupun dalam bermacam macam cabang ilmu pengetahuan dan keahlian dan pada umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam masyarakat kerena watak masyarakat itu sendiri.
Adapun metode yang ia gunakan dalam mengkaji fenomena fenomena sosial adalah metode yang ilmiah, karena dalam mengkaji bidang ini (fenomena) sosial ia selalu bertanya “mengapa” dan ia jawab pertanyaan ini dengan ungkapan-ungkapan yang dimulai dengan “sebabnya ialah” atau “hal ini terjadi karena”, pertanyaan itulah yang membentuk sosiologi dan metode yang digunakan adalah bercorak experimental, dan yang lebih fenomenal adalah perkataan N.Schmidt, dalam karyanya Ibnu Khaldun: Historian, Sosiologist, and Philosopher “ ia adalah seorang pemikir seperti halnya Comte, Thomas Mann, dan Spencer, ia mengemukakan sosiologi yang lebih maju sampai kebatas yang tidak dapat dicapai Comte sendiri pada penggal pertama ke 19, andaikata para pemikir yang telah menyusun kembali sosiologi menelaah muqaddimah Ibnu Khaldun dan menimba kenyataan kenyataan yang telah ia singkapkan dan jalan yang telah ditemukan si jenius arab itu pada masa jauh sebelum mereka, niscaya mereka akan mampu mengemukakan ilmu baru ini lebih cepat.

Penutup
Konsep pendidikan yang dikemukakannya tampak sangat dipengaruhi oleh pandangannya terhadap manusia yang harus dididik, dalam rangka menjalankan fungsi sosialnya ditengah-tengah masyarakat. Pendidikan adalah alat bantu seseorang agar tetap hidup bermasyarakat dengan baik. Aspek-aspek yang mendukung proses pendidikan mulai dari peserta didik, pendidik, sarana dan prasarana harus benar-benar diperhatikan, karena akan sangat berpengaruh pada jalannya proses pendidikan.
Dalam pada itu hendaknya tidak mengabaikan hakikat tujuan pendidikan itu sendiri yaitu berorientasikan kepada pengembangan, pengarahan, dan pembentukan kepribadian peserta didik. Oleh karena itu guru sebagai pendidik diharuskan mampu membaca situasi dan kondisi dalam pembelajaran, mengetahui psikologi anak dan sebagainya.   

Daftar Pustaka
Haque, M. Atiqul, 2007, 100 Pahlawan Muslim yang mengubah Dunia, Jogjakarta: Diglossia.
Jamil, Ahmad, 1987, Seratus Muslim terkemuka, Jakarta: Pustaka Firadus.
Ihsan, Hamdani, 2007, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Amin, Husayn Ahmad, 2006, Seratus Tokoh Muslim dalam Sejarah Islam, Bandung: PR Remaja Rosyda Karya.
Hasan, Fathiyah, 1987, Pandangan Ibnu Khaldun tentang ilmu dan pendidikan, Bandung: Diponegoro.
Al Jumbulati, Ali, dkk, 2002,  Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Fuad, Ali Wardi Baali, 1989, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus.  
Wafi, Ali Abdul Wahid, 1985, Ibnu Khaldun riwayat dan karyanya, Jakarta: Grafiti Press.
Syaibany, Toumy, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.


[1] M. Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang mengubah Dunia, (Jogjakarta: Diglossia, 2007), hal. 85
[2]Jamil Ahmad, Seratus Muslim terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hal. 421
[3]Drs. H. Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), hal. 22
[4]Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Muslim dalam Sejarah Islam, (Bandung: PR Remaja Rosyda Karya, 2006), hal. 241
[5]Fathiyah Hasan, Pandangan Ibnu Khaldun tentang ilmu dan pendidikan, (Bandung: Diponegoro, 1987), hal. 36
[6]Ali Al Jumbulati, dkk, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), hal. 36
[7]Ali Wardi Baali Fuad, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), hal. 50  
[8] Ibid, hal. 58  
[9] Ibid, hal. 44
[10] Ibid, hal. 99
[11]Ar-rum: 42
[12]Dr. Zainab al-Khudari. Op cit., 69

No comments:

Post a Comment