PEMIKIRAN
IBNU KHALDUN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Heru Prasetyo
Pendahuluan
Ibnu
Khaldun merupakan salah seorang ulama besar yang dihormati, sehingga
kemasyhurannya beliau senantiasa bersinar di setiap zaman, sehingga sekarang
ramai orang yang menaruh perhatian terhadap idea dan pemikirannya. Beliau
terkenal sebagai ahli sejarah yang bijaksana, ahli ekonomi dan perancang
pendidikan dalam memakmurkan masyarakat sebagaimana yang ditulis dalam kitabnya
Muqaddimah. Disebabkan oleh keahliannya, beliau dipandang bagaikan
bintang yang bersinar dalam kegelapan pada zamannya, meskipun beberapa
ketentuan perundangan yang berkaitan dengan kekuasaan politik kerajaan yang
dzalim tidak lagi sesuai dengan sistem perundangan masa kini.
Bagaimanapun,
beliau tetap dipandang sebagai seorang alim yang memiliki kepribadian unggul
dan cemerlang fikirannya, sebab beliau banyak menggunakan idea-idea yang tidak
dapat dibantah, berwatak asli yang pantas dijadikan teladan. Beliau juga
memiliki kecerdasan tinggi, berpandangan luas dalam menganalisis berbagai
peristiwa yang terjadi semasa hidupnya. Sehingga seluruh gejala dari peristiwa
tersebut dapat beliau jawab melalui pemikiran yang kreatif dengan menetapkan
hukum-hukum secara logik dan didukung oleh fakta-fakta yang lengkap dan sahih.
Latar
Belakang Pemikir Ibnu Khaldun
Adalah
Ibnu Khaldun pendiri ilmu sosial dan ahli sejarah terbesar, Abdurrahman
Wali’uddin Muhammad Ibnu Khaldun, lahir di Tunisia pada 27 Mei 1332. Ayahnya
adalah cendekiawan Islam terkemuka, sehingga ia mendapatkan pendidikan dasar
dari ayahnya dan dari cendekiawan-cendekiawan Islam yang berkualitas. Sejak
kecil kecerdasannya yang tinggi dan ide-ide filosofisnya telah menarik
perhatian. Ketika ia berusia 20 tahun, dia ditunjuk oleh Sultan Fes sebagai
sekretaris pribadinya. Akan tetapi ide-ide filosofisnya justru menjauhkan diri
dari kelas Ulama, jadi ia meninggalkannya. Kemudian ia menjadi sekretaris
pribadinya Sultan Marinid, Abu ‘Ivan. Berkat jasa posisi dan statusnya di
istana Sultan, dia menjadi sangat kaya dan terkenal pada waktu yang sangat
singkat, tetapi akibat persengketaan dia berakhir di penjara.
Empat
puluh tahun lamanya, ia hidup di Benteng Oran. Selama empat tahun ia
mengabdikan dengan sepenuh hati meneliti sejarah, merencanakan dirinya menulis
sejarah dunia dan menulis bagian Muqaddimah (Pendahuluan). Untuk
mengumpulkan materi buku ini, ia mengembara di satu tempat ke tempat yang lain,
dari suatu perpustakaan ke perpustakaan lain. Akhirnya ia pergi ke Universitas
Zaitun di Tunisia tahun 1380 dan tinggal di sana untuk meneruskan tulisannya Muqaddimah.[1]
Ibnu
Khaldun seorang cendekiawan terbesar di zamannya. Salah seorang pemikir
terkemuka. Sebelum Khaldun, sejarah hanya berkisar pada pencatatan sederhana
dari kejadian-kejadian tanpa ada pembeda antara fakta dan hasil rekaan.
Secara
khas Ibnu Khaldun membedakan cara memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta
memberikan alasan-alasan untuk mendukung kejadian-kejadian yang nyata. Seorang
kritikus besar terkemuka mengatakan, “Tak ada seorangpun dalam perbendaharaan
sastra kristen dari abad pertengahan yang pantas disejajarkan dengan sejarahnya
Ibnu Khaldun dan tak satupun sejarawan kristen yang menulis sebuah versi dengan
begitu gamblang dan tepat mengenai sejarah Islam. [2]
Ibnu
Khaldun dalam proses pemikiran mengalami percampuran antara dua tokoh saling
bertolak belakang, yaitu Al Ghozali dan Ibnu Rusyd. Al Ghazali sebagai
penentang aristoteles, yang digunakan untuk menentang logikanya. Ibnu Rusyd
sebagai pengikut aristoteles, digunakan untuk mempengaruhi massa.
Pandangannya
tentang Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam
menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Maka
filsafat pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang pandangan
filosofis dari sistem aliran filsafat dalam Islam terhadap masalah-masalah
kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan
manusia muslim dan umat Islam.[3]
Manusia
senantiasa berada dan tidak mungkin bisa keluar dari ruangan pendidikan dunia.
Karena sekolah lembaga pendidikan formal, dunia adalah sekolah terbesar bagi
manusia, manusia memperoleh banyak hal tentang pengetahuan kehidupan. Jika
manusia tidak sempat memperoleh pendidikan dari orang tuanya, zamanlah yang
mendidiknya.
Ilmu
dan pendidikan bagi Ibnu Khaldun merupakan salah satu gejala sosial yang
menjadi ciri khas masyarakat insani. Ia telah meletakkan asas yang praktis
realitis dan ilmiah dalam bidang pendidikan. Ia menjelaskan bahwa dalam
pendidikan terdapat interaksi cultural secara umum dan peningkatan perkembangan
akal melalui aktivitasnya, dimana hal ini akan melahirkan berbagai ilmu
pengetahuan. Proses interaksi antara akal dengan aspek pengetahuan ini akan
berlangsung secara konstan tanpa batas.
Pendidikan
tidak pernah mengenal batas usia, tempat, waktu. Sebab ia akan selalu berfikir,
berkreasi, beraktifitas, memiliki pengalaman, tujuan hidup, dan cara-cara
metode tertentu. Karena tujuan pendidikan islam adalah memperoleh kebahagiaan
dunia dan akherat.
Pendidikan
menurutnya akan berubah sesuai dengan perubahan sosial. Ibnu Khaldun tidak
membenarkan tindakan guru yang keras kepada
muridnya, karena hal itu akan merusak akhlaq anak didik dan perilaku sosial.
Guru harus mampu menarik perhatian muridnya, menjaga mereka hingga pikirannya
terbuka dan berkembang sendiri. Guru harus membiasakan perilaku yang baik
kepada muridnya, memberi contoh, tidak mengajari mereka dengan perkataan saja.
Seorang guru harus menjadi contoh yang baik bagi muridnya.[4]
Pendidikan
bukanlah aktivitas yang hanya bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari
aspek pragmatis, tetapi ilmu dan pendidikan suatu gejala konklusif yang lahir
dari terbentuknya masyarakat dan perkembangan dalam tahapan kebudayaan. Ia juga
sebagai gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Dengan
pengertian luas, pendidikan bukan hanya dibatasi dengan empat dinding, tetapi
proses dimana manusia sadar menangkap, menyerap, menghayati peristiwa-peristiwa
alam sepanjang zaman. Manusia adalah bodoh tidak berilmu, tetapi Allah
membedakannya dengan binatang. Ia diberi akal pikiran dengan proses
pendengaran, penglihatan, dan akal.[5]
Qur’an
dan Hadist sebagai Dasar Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan
Pendidikan Islam tidaklah selalu paten di sepanjang periode perkembangan Islam.
Pada abad pertama Hijriyyah tujuan pendidikan Islam berbeda dengan tujuan
pendidikan pada abad ke 4 Hijriyyah. Tujuan dan sasaran pendidikan Islam
mengalami perkembangan pada abad-abad berikutnya. Pada hakikatnya tujuan
pendidikan Islam selama bersumber dari aliran rasionalisme dan keagamaan, yang
diikuti para pendidik muslim. Akibatnya pendirian atau pandangan mereka serta
tujuan-tujuan pendidikan yang mereka ikuti dalam pengajaran dan pendidikan
saling berbeda menurut aliran paham mereka.[6]
Tujuan pendidikan dalam ringkasannya
al-Taumy pada buku Muqaddimah Ibnu Khaldun adalah menyiapkan seseorang
dari segi keagamaan yang berlandaskan dari Qur’an dan hadist. Sebab dengan
jalan itu potensi iman diperkuat, sebagaimana dengan potensi-potensi yang lain
jika mendarah daging, seakan-akan menjadi fitrah.
Menyiapkan seseorang dari segi
akhlak. Bahwa hakekat pendidikan menurut Islam adalah menumbuhkan dan membentuk
manusia yang sempurna melalui budi luhur dan akhlak mulia. Serta menyiapkan
seseorang dari segi kemasyarakatan dan sosial, dan juga menyiapkan dari segi
vokasional dan pekerjaan, pemikiran dan kesenian.
Maka target pendidikan memberikan
kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja untuk terbukanya kematangan
individu, karena kematangan itu sebagai alat kemajuan ilmu industri dan sistem
sosial. Keseimbangan antara kehidupan dunia dan akherat. Khaldun bertujuan
religius dengan tidak menyampingkan
tujuan dunia.[7]
Ilmu
Pendidikan harus menjadi kurikulum pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam
berbeda-beda isinya menurut kondisi perkembangan agama Islam, karena kaum
muslimin berada di dalam lingkungan dan negeri yang berbeda-beda, walaupun
mereka sepakat bahwa kitab suci Al Qur’an dijadikan sumber pokok ilmu-ilmu
agama dan umum. Dalam pendidikan Islam ada dua macam kurikulum, kurikulum
khusus untuk pengajaran permulaan dan kuriulum untuk pengajar tingkat atas.
Kurikulum tingkat dasar didasarkan
atas dimulainya pendidikan terhadap anak-anak yang sedang bertumbuh, lalu
berproses ke arah tingkat usia murohaqah atau usia dimana seseorang mampu
berfikir. Maka kurikulum itu mencakup pendidikan bagi tingkat kanak-kanak dan
murahaqah. Kurikulum tingkat atas berisi ilmu pengetahuan yang banyak jenisnya
untuk dikembangkan dan didalami secara khusus, yaitu ilmu pengetahuan yang
mengandung nilai intrinsik dan ilmu pengetahuan yang tidak bersifat intrinsik.[8]
Pandangan Ibnu Khaldun tentang
kurikulum tradisional, masih terbatas pada maklumat dan pengetahuan yang
dikemukakan oleh guru dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas dan
tradisional. Adapun kurikulum modern mempunyai beberapa unsur, tujuan
pendidikan, pengatahuan-pengetahuan, maklumat, data kegiatan dan pengalaman,
metode pengajaran, dan metode penilaian yang digunakan.
Ibnu Khaldun menyatakan ilmu
pengetahuan harus dijadikan materi kurikulum lembaga pendidikan Islam mencakup
tiga hal:[9]
Ilmu Lisan (bahasa)
yang terdiri dari ilmu lughah, nahwu, sharaf, balaghah, bayan, ma’ani, adab dan
sastra.
Ilmu Naqli yaitu
ilmu-ilmu yang dinukil dari kitab suci Al Qur’an dan Sunnah nabi. Ilmu ini
terdiri ilmu membaca (Qiraah) Qur’an dan ilmu Tafsir, sanad-sanad hadist
dan pentashihnya serta istimbat dan qanun-qanun fidyahnya. Dari ilmu-ilmu itu anak terdidik untuk
mengetahui hukum-hukum Allah yang diwajibkan atas ummat manusia. Dari ilmu-ilmu
yang dapat digunakan untuk menganalisis ajaran Qur’an adalah ilmu Tafsir, Ilmu
Hadist, Ushul Fiqh, melalui metode deduktif, induktif, dan istimbat.
Ilmu Aqli adalah ilmu yang
dapat menunjukkan manusia melalui daya kemampuan berfikirnya kepada filsafat
dan semua jenis ilmu mantiq, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu teknik, ilmu
hitung, ilmu tentang tingkah laku, ilmu sihir ilmu dan ilmu nujum (kedua ilmu ini
dilarang untuk dijadikan mata pelajaran, karena berlawanan dengan ilmu tauhid)
Bila
dilihat dari urgensinya bagi pelajar, maka ibnu Khaldun memberikan pembagian
ilmu pengetahuan tersebut secara kulikuler menjadi ilmu Syari’ah, filsafat,
alat yang bersifat membantu ilmu-ilmu agama, alat yang membantu falsafah.
Metode
memudahkan proses pembelajaran dalam terlaksananya tujuan
Metode
pendidikan anak hendaknya dengan menggunakan beberapa metode, karena anak-anak
memiliki perbedaan-perbedaan watak yang membawanya, serta usia dan
lingkungan.
Ibnu
Khaldun mengemukakan tentang metode pembelajaran, memberikan pengetahuan dengan
problematika pokok yang umum dan menyeluruh dengan memperhatikan akal anak
didik, kemudian membahas secara detail dan terperinci, dan membahas persoalan
yang menyulitkan pemahaman dengan tujuan memperoleh pemahaman yang sempurna.
Beberapa
metode mengajar yang harus selalu diperhatikan oleh guru antara lain:[10]
Metode
pentahapan dan pengulangan, dengan artian pembelajaran hendaknya didasarkan
prinsip-prinsip bahwa tahapan permulaan pengetahuan adalah bersifat total,
kemudian secara bertahap, terperinci, sehingga anak dapat menerima dan memahami
permasalahan pada tiap bagian dari ilmu yang diajarkan, lalu mendekatkan ilmu
kepada pikirannya melalui penjelasan dan uraian-uraian sesuai dengan tingkat
kemampuan berfikirnya. Kemudian guru mengulangi ilmu yang diajarkan itu agar
anak-anak meningkat daya pemahamannya sampai taraf yang tertinggi melalui
uraian dan pembuktian yang jelas.
Menggunakan
sarana tertentu untuk menjabarkan pelajaran. Dalam artian digunakan alat
peraga, karena anak pada waktu mulai belajar lemah dalam memahami dan kurang
daya ingatannya. Anak bergantung kepada pancainderanya dalam proses penyusunan
pengalamannya. Tujuan pemakaian metode ini adalah lebih memudahkan anak
memahami pelajaran dan mengurangi kesalahan daya penerimaan ilmu yang diajarkan
serta memperkecil pemahaman yang buruk.
Widya
wisata merupakan alat untuk mendapatkan pengalaman langsung. Upaya ini sebagai
sarana besar untuk mendapatkan pengetahuan secara langsung di lapangan dan pengaruhnya kuat sekali dalam
hati anak. Widya wisata dapat diartikan sebagai perjalanan menuntut ilmu dengan
menemui guru-guru yang mempunyai keahlian khusus, dan belajar kepada para tokoh
ulama dan ilmuwan terkenal.
قُلْ سِيرُوا فِي
الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ كَانَ
أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ.[11]
Katakanlah:
"Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang
mempersekutukan (Allah)."
Tidak memberikan presentasi yang rumit kepada anak
yang baru belajar permulaan. Mengajar hendaknya jangan mengajarkan anak-anak
dengan definisi-definisi dan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, akan tetapi guru
memberikan contoh-contoh yang mudah dan membahas nas-nas serta mengistimbatkan
yang khusus. Hal ini sangat menyulitkan anak dalam memahami ilmu pengetahuan
karena usianya yang belum matang. Ini menyebabkan akal pikirannya dibebani
dengan kesulitan dan rasa malas, bahkan memperkecil daya pikirannya yang akan
berakhir pada apa yang dinamakan “kelumpuhan akademis”.
Harus ada keterkaitan dalam disiplin ilmu. Guru dalam
mengajarkan ilmu kepada muridnya mengaitkan dengan ilmu yang lainnya (jangan
sampai terpisah-pisah). Karena dapat menyebabkan kelupaan, maka dalam mengajar
diperlukan pengulangan sampai tiga kali tanpa terpisah-pisah, agar memudahkan
orang tidak lupa.
Menghindari dari mengajarkan ilmu dengan ikhtisar.
Metode ini dapat menghalangi murid dalam meningkatkan kemampuan-kemampuan
kreativitas mereka. Disamping itu dapat melemahkan akal pikiran, dan
mengacaukan system berfikir serta membuang-buang waktu belajar murid.
Sangsi terhadap murid merupakan salah satu motivasi
dorongan semangat belajar. Sikap kasih sayang kepada anak dan tidak menggunakan kekerasan
terhadap mereka sangat diperlukan. Beliau menganjurkan agar guru-guru, dan
orang tua anak tidak berlaku kejam dalam mengajar dan mendidik anak. Dua
prinsip dalam wasiatnya, yaitu langkah-langkah mengajar yang dianjurkan Harun
Ar-Rasyid untuk anaknya amin, karena hukuman alat mendidik yang sangat penting,
akan tetapi jangan dilakukan pendidik kecuali dalam keadaan terpaksa, tidak ada
jalan lain. Metode yang kedua adalah prosedur mengajar dan mendidik anaknya.
Ibnu
Khaldun telah banyak turut mewarnai pemikiran-pemikiran tentang pendidikan.
Dari segi metode, materi, kurikulum yang ditawarkan untuk dikaji dan dicermati.
Aktivitas pendidikan bukan hanya bersifat perenungan dan pemikiran saja, tetapi
ia merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani, dan karenanya
ia harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang bernama manusia. Karena
orientasi pendidikan menurutnya adalah kemasyarakatan.
Bahasa
merupakan syarat utama bagi keberhasilan suatu pendidikan. Dan metode yang
digunakan bersifat intelektualitas, dengan prinsip memberikan
kemudahan-kemudahan bagi anak didik demi terciptanya tujuan pendidikan.
Fonomena
sosoal sebagai objek pembahasan sosiologi
Sebagaimana diketahui bahwa ia adalah
pengasas sosiologi, karena dalam berbagai kitabnya, yang terutama dalam
muqaddimahnya ia mengkaji “realitas-realitas al-‘umranal-basyari” atau keadaan
kemasyarakatan manusia, yang mana keadaan tersebut dinamakan “fenomena-fenomena
sosial”, dan inilah yang merupakan objek pembahasan sosiologi. Sebagaimana
perkataannya dalam muqaddimah[12]
“Ketahuilah bahwa sejarah adalah catatan tentang masyarakat ummah manusia atau
kebudayaan dunia, tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak
masyarakat itu, seperti keprimitifan, keramahtamahan, dan solidaritas kelompok;
tentang revolusi revolusi dan pemberontakan pemberontakan oleh sekelompok
masyarakat melawan sekelompok masyarakat yang lain, yang berakibat timbulnya
kekuasaan kekuasaan baru dengan berbagai macam peringkatnya; tentang macam
macam kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya maupun
dalam bermacam macam cabang ilmu pengetahuan dan keahlian dan pada umumnya
tentang segala perubahan yang terjadi dalam masyarakat kerena watak masyarakat
itu sendiri.
Adapun metode yang ia gunakan dalam
mengkaji fenomena fenomena sosial adalah metode yang ilmiah, karena dalam
mengkaji bidang ini (fenomena) sosial ia selalu bertanya “mengapa” dan ia jawab
pertanyaan ini dengan ungkapan-ungkapan yang dimulai dengan “sebabnya ialah”
atau “hal ini terjadi karena”, pertanyaan itulah yang membentuk sosiologi dan
metode yang digunakan adalah bercorak experimental, dan yang lebih fenomenal
adalah perkataan N.Schmidt, dalam karyanya Ibnu Khaldun: Historian,
Sosiologist, and Philosopher “ ia adalah seorang pemikir seperti halnya Comte,
Thomas Mann, dan Spencer, ia mengemukakan sosiologi yang lebih maju sampai
kebatas yang tidak dapat dicapai Comte sendiri pada penggal pertama ke 19,
andaikata para pemikir yang telah menyusun kembali sosiologi menelaah muqaddimah
Ibnu Khaldun dan menimba kenyataan kenyataan yang telah ia singkapkan dan jalan
yang telah ditemukan si jenius arab itu pada masa jauh sebelum mereka, niscaya
mereka akan mampu mengemukakan ilmu baru ini lebih cepat.
Penutup
Konsep pendidikan yang dikemukakannya
tampak sangat dipengaruhi oleh pandangannya terhadap manusia yang harus
dididik, dalam rangka menjalankan fungsi sosialnya ditengah-tengah masyarakat.
Pendidikan adalah alat bantu seseorang agar tetap hidup bermasyarakat dengan
baik. Aspek-aspek yang mendukung proses pendidikan mulai dari peserta didik,
pendidik, sarana dan prasarana harus benar-benar diperhatikan, karena akan
sangat berpengaruh pada jalannya proses pendidikan.
Dalam
pada itu hendaknya tidak mengabaikan hakikat tujuan pendidikan itu sendiri yaitu
berorientasikan kepada pengembangan, pengarahan, dan pembentukan kepribadian
peserta didik. Oleh karena itu guru sebagai pendidik diharuskan mampu membaca
situasi dan kondisi dalam pembelajaran, mengetahui psikologi anak dan
sebagainya.
Daftar
Pustaka
Haque,
M. Atiqul, 2007, 100 Pahlawan Muslim yang mengubah Dunia, Jogjakarta:
Diglossia.
Jamil,
Ahmad, 1987, Seratus Muslim terkemuka, Jakarta: Pustaka Firadus.
Ihsan,
Hamdani, 2007, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Amin,
Husayn Ahmad, 2006, Seratus Tokoh Muslim dalam Sejarah Islam, Bandung:
PR Remaja Rosyda Karya.
Hasan,
Fathiyah, 1987, Pandangan Ibnu Khaldun tentang ilmu dan pendidikan, Bandung:
Diponegoro.
Al
Jumbulati, Ali, dkk, 2002, Perbandingan
Pendidikan Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Fuad,
Ali Wardi Baali, 1989, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Wafi,
Ali Abdul Wahid, 1985, Ibnu Khaldun riwayat dan karyanya, Jakarta:
Grafiti Press.
Syaibany,
Toumy, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
[1] M.
Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang mengubah Dunia, (Jogjakarta:
Diglossia, 2007), hal. 85
[4]Husayn Ahmad Amin, Seratus
Tokoh Muslim dalam Sejarah Islam, (Bandung: PR Remaja Rosyda Karya, 2006),
hal. 241
[5]Fathiyah Hasan, Pandangan
Ibnu Khaldun tentang ilmu dan pendidikan, (Bandung: Diponegoro, 1987), hal.
36
[7]Ali Wardi Baali Fuad, Ibnu
Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), hal. 50
[11]Ar-rum:
42
[12]Dr.
Zainab al-Khudari. Op cit., 69
No comments:
Post a Comment