Wednesday, 1 March 2017

PENDIDIKAN PERBANDINGAN KONSEP PENDIDIKAN K.H. AHMAD DAHLAN DAN ABDULLAH AHMAD



PENDIDIKAN PERBANDINGAN
KONSEP PENDIDIKAN K.H. AHMAD DAHLAN DAN ABDULLAH AHMAD
Heru Prasetyo

Biografi K.H. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1868 di kampung Kauman (Yogyakarta) dan meninggal pada tanggal 25 Februati 1923. Nama kecil Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ia merupakan anak kelima dari K.H. Abu Bakar, yang merupakan seorang imam dan khatib masjid besar Kraton Yohyakarta. Ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Semenjak kecil Darwis diasuh dan dididik sebagai putera kyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, seperti umumnya santri pada waktu itu, setelah memiliki dasar-dasar pendidikan agama Islam, Darwis menjadi “musafir pencari ilmu yang mengembara dari pesantren satu ke pesantren lainnya untuk memperdalam ilmu agama.

Ketika Muhammad Darwis berumur 15 tahun (1883), dengan dibiayai oleh kakak iparnya, K.H. Soleh, ia berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus melanjutkan studinya dan bemukim di Mekah selama lima tahun. Dalam studinya tersebut Muhammad Darwis banyak belajar ilmu agama dari para ulama terkenal. Diantara gurunya waktu itu adalah Sayyid Bakri Syata’, salah seorang mufti madzhab Syafi’i yang bermukim di Mekkah. Bahkan Sayyid Bakri Syata’–lah yang mengganti nama Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan.[1] K.H. Ahmad Dahlan juga banyak melakukan mudzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di sana, diantaranya adalah; Syeikh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, K.H. Ahmad Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan melalui penganalisaan kitab-kitab yang ditulis oleh pembaharu Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
Ide pembaharuan yang berkembang di Timur Tengah sangat menarik hati K.H. Ahmad Dahlan, terutama bila melihat realita dinamika umat Islam Indonesia yang cukup stagnan. Sehingga, sepulangnya ke tanah air, ia sangat aktif menyebarkan gagasan pembaharuan ke berbagai daerah. Kemudian, atas desakan para muridnya dan beberapa anggota Boedi Oetomo, maka K.H. Ahmad Dahlan merasa perlu untuk merealisasikan ide pembaharuannya melalui sebuah organisasi keagamaan yang permanen. Maka didirikanlah organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912 di Yogyakarta. Juga membentuk suatu wadah bagi para pemudanya melalui Hizbul Wathan, untuk kaum perempuan dibentuk ‘Aisyiyah.
Ahmad Dahlan adalah seorang yang sangat berani. Bagi dia, kebenaran harus tetap dilaksanakan dan ditegakkan, sekalipun harus berhadapan dengan kekuasaan. Hal ini, menurut Abdul Mu’ti, dibuktikan dalam dua hal.
Pertama, kiblat masjid Besar Kasultanan yang menurut Dahlan tidak sama persis dengan perhitungan falaq.
Kedua, adalah kasus perbedaan penentuan tanggal 1 Syawwal antara perhitungan falaq dengan aboge.[2] 
Secara umum, menurut Nizar, ide-ide pembaharuan Dahlan dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu; Pertama, berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari khurafat, tahayul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam aqidah dan ibadah umat Islam. Kedua, mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.

Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Tahun 1656, dapat dipandang sebagai titik awal bangsa Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di Indonesia. Awal keberadaannya di Indonesia, Belanda sama sekali tidak menaruh perhatian pada bidang pendidikan. Tiga abad kemudian, barulah mereka mulai merasakan perlunya mendirikan sekolah, tepatnya pada tahun 1854 dan hanya dikhususkan pada anak-anak Belanda.
Mengutip tulisan Siregeg, Khozin menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Belanda, pendidikan di Indonesia terbagi menjadi empat sistem persekolahan.
Pertama, sekolah Eropa yaitu sekolah yang menampung anak-anak Hindia Belanda. Kedua, sekolah Barat adalah sekolah yang menampung anak-anak yang berwarga negara Belanda. Ketiga, sekolah vernakuler. Kurikulum di sekolah ini disusun oleh Belanda. Tujuan pendidika di sekolah ini hampir sama dengan sekolah Barat, bahasa pengantarnya adalah bahasa daerah. Keempat, sekolah pribumi. Yaitu sistem persekolahan yang ada di luar kontrol pemerintah Hindia Belanda
Sistem persekolahan sebagaimana di atas, tentu akan mempertajam jurang pemisah antara penduduk pribumi dengan orang-orang Belanda sebagai penjajah. Dilihat dari perspektif Islam, maka sistem pendidikan yang demikian disamping membawa pengaruh positif, unsur-unsur negatifnya bagi umat Islam sudah barang tentu akan lebih dominan, terutama dampak sekularisme. Jika sistem pendidikan ini tetap dipertahankan, maka tidak menutup kemungkinan umat Islam akan semakin jauh terseret dalam proses sekularisasi.
Untuk mensosialisasikan pembaharuannya terutama dalam bidang pendidikan, Ahmad Dahlan mencoba memulainya dengan membimbing beberapa orang keluarga dekatnya serta beberapa temannya. Tampat yang semula digunakan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya adalah pengajian-pengajian dan tempat-tempat lain di mana ia memberikan pelajaran.
Untuk mewujudkan ide pembaharuan di dalam bidang pendidikan, Dahlan merasa perlu mendirikan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisional secara integral.
Pada perkembangan berikutnya, Ahmad Dahlan mencoba mendirikan sebuah madrasah dengan memakai bahasa Arab sebagai pengantar dalam lingkungan kraton Yogyakarta, namun usaha ini gagal. Selanjutnya atas dorongan para pengurus Boedi Oetomo,  pada tanggal 1 Desember 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah sekolah dasar di lingkungan kraton Yogyakarta. Di sekolah ini pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan sekolah Islam swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah dan kemudian mendapatkan subsidi tersebut. Tidak berpuas diri mendirikan satu sekolah, Dahlan juga mendirikan sekolah yang sama di kampung Yogya yang lain.
Setelah membentuk perkumpulan Muhammadiyah, pada tanggal 18 Nopember 1912, pendidikan yang dirintis oleh Dahlan berkembang dengan pesatnya. Untuk memenuhi tenaga pengajar pada sekolah-sekolah tersebut, di samping guru yang berasal dari sekolah pemerintah, juga dari sekolah calon guru yang didirikan oleh Dahlan sendiri pada 8 Desember 1921, yaitu Kweek School Muhammadiyah (Madrasah Mu’allimin) dan Kweek Istri Muhammadiyah (Madrasah Mu’allimat).[3]
Pelaksanaan pendidikan –menurut Dahlan– hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk).  Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai ‘abd Allah dan khalifah fi al-ardh.
Pada pembahasan berikutnya, penulis akan uraikan mengenai konsep pendidikan Ahmad Dahlan yang dituangkan dalam berbagai lembaga pendidikan yang dibangunnya. Dalam hal penelusuran mengenai konsep pendidikan Ahmad Dahlan ini tentu mengalami beberapa kendala –kalau tidak boleh disebut kesulitan– mengingat Dahlan bukanlah seorang teoritis yang menuangkan ide-ide pembaharuan pendidikannya melalui tulisan. Dahlan adalah seorang pragmatikus. Murid dari ulama Syafi’i, Syaikh Ahmad Khatib yang terkenal di Mekkah ini, mengajarkan semboyan kepada murid-muridnya: Sedikit bicara banyak bekerja. Maka, tidak satupun konsep pendidikan yang ia tuangkan dalam tulisan baik berupa buku maupun catatan lainnya.

Tujuan Pendidikan
Ahmad Dahlan tidak secara khusus menyebutkan tujuan pendidikan. Tetapi dari pernyataan yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan, tujuan pendidikanAhmad Dahlan adalah : “ Dadijo Kijahi sing kemadjoean, adja kesel anggonmoenjamboet gawe kanggo Moehammadijah”. Dalam pernyataan sederhana tersebut, terdapat beberapa hal penting, yaitu “kijahi”, “kemadjoean” dan “njamboet gawe kanggo Moehammadijah”.[4]
Istilah Kiai merupakan sosok yang sangat menguasai ilmu agama. Dalam masyarakat Jawa, seorang Kiai, adalah figur yang shalih, berakhlaq mulia dan menguasai ilmu agama secara mendalam. Istilah kemajuan secara khusus menunjuk kepada kemoderenan sebagai lawan dari kekolotan dan konservatisme. Pada masa Ahmad Dahlan kemajuan sering diidentikkan dengan penguasaan ilmu-ilmu umum atau intelektualitas dan kemajuan secara material. Sedangkan kata “njamboet gawe kanggo Moehammadijah” merupakan manifestasi dari keteguhan dan komitmen untuk membantu dan mencurahkan pikiran dan tenaga untuk kemajuan umat Islam, pada khususnya, dan kemajuan masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan pemahaman tersebut, Amir Hamzah menyimpulkan tujuan pendidikan menurut Ahmad Dahlan adalah untuk membentuk manusia yang :
a.     ‘Alim dalam ilmu agama;
b.     Berpandangan luas, dengan memiliki pengetahuan umum;
c.      Siap berjuang, mengabdi untuk Muhammadiyah dalam menyantuni nilai- nilai keutamaan pada masyarakat.[5]
Rumusan tujuan pendidikan tersebut merupakan “pembaharuan” dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Di dalam sistem pendidikan pesantren tidak diajarkan sama sekali pelajaran dan pengetahuan umum serta penggunaan huruf latin. Semua kitab dan tulisan yang diajarkan menggunakan bahasa dan huruf Arab. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan “sekuler” yang di dalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Pelajaran di sekolah ini menggunakan huruf latin. Akibat dualisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan lulusan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang “sempurna” adalah melahirkan individu yang “utuh” : menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spiritual serta dunia dan akhirat. Bagi Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spiritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama ekstra kurikuler diKweekschool Jetis dan Osvia Magelang serta mendirikan madrasah Muhammadiyah yang didalamnya mengajarkan ilmu agama dan ilmu umum sekaligus.

Metode Mengajar
Di dalam menyampaikan ilmu agama, K.H. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual, melainkan kontekstual. Bagaimana cara ia mengajarkan agama antara lain dijelaskan oleh K.H. Mas Mansur, yang merupakan salah seorang murid dan teman seperjuangannya. Dalam hal ini, K.H. Mas Mansur, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Mu’ti, menyebutkan:
“KHA. Dahlan gemar sekali mengupas tafsir dan pandai pula tentang hal itu. Kalau menafsirkan sebuah ayat, beliau selidiki lebih dahulu dalam tiap-tiap perkataan dalam ayat itu satu demi satu. Beliau lihat kekuatan atau perasaan yang terkandung oleh perkataan itu di dalam ayat yang lain-lain, barulah beliau sesuaikan dengan keadaan hingga keterangan beliau itu hebat dan dalam serta tepat.”[6]

Di samping menggunakan penafsiran yang kontekstual, Ahmad Dahlan berpendapat, bahwa pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan saja atau difahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
Dalam hal metode mengajar ini, Ahmad Dahlan memilih menggunakan metode ceramah. Sebagai guru, ia masih merupakan sumber utama dari proses pembelajaran. Hal ini tentu dapat dipahami, mengingat kondisi saat itu, selain juga masih terbawa metode pendidikan ala pesantren. Seperti kita ketahui, dalam pesantren saat itu, pembelajaran yang menggunakan metode bandongan dan sorogan, sistem pengajarannya berjalan satu arah. Dari kyai kepada santri, di sini kyai merupakan satu-satunya sumber belajar, selain kitab-kitab yang dipelajarai tentunya. Dalam sistem dan metode semacam ini, hampir pasti tidak ada unsur dialogis.
Namun demikian, sekalipun metode pembelajarannya nir-diskusi, namun Dahlan menerapkan pola “learning by doing” (belajar sambil melakukan). Ilmu yang telah diajarkan harus diamalkan, karena ilmu dan amal adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Selanjutnya, dilihat dari sistem penyelenggaraannya, sekolah yang diselenggarakan oleh Ahmad Dahlan meniru sistem persekolahan model Belanda. Dalam mengajar, Dahlan menggunakan kapur, papan tulis, meja, kursi dan peralatan lain sebagaimana lazimnya sekolah Belanda. Berkaitan dengan langkah tersebut, Dahlan berpendapat bahwa untuk memajukan pendidikan diperlukan cara-cara sebagaimana yang digunakan dalam sekolah yang maju. Meniru model penyelenggaraan sekolah tidak berarti mengabaikan ajaran agama sebab penyelenggaraan sistem pendidikan merupakan wilayah muamalah yang harus ditentukan dan dikembangkan sendiri.[7]
Catatan Kritis Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan. Sekalipun tidak dalam formulasi dan rumusan filsafat pendidikan yang eksplisit, K.H. Ahmad Dahlan telah meletakkan landasan bagi lahirnya pendidikan Islam modern di nusantara. Sumbangan Ahmad Dahlan tersebut setidaknya dapat dilihat dari tiga aspek.

Aspek Kelembagaan
 K.H. Ahmad Dahlan telah berhasil meletakkan landasan lahirnya lembaga pendidikan Islam modern di Indonesia. Sistem sekolah Islam dan madrasah yang sekarang ini merupakan model lembaga pendidikan Islam yang paling dominan merupakan pengembangan lebih lanjut dari sistem sekolah dan madrasah yang dikembangkan oleh Dahlan.

Aspek Kurikulum,
Dahlan telah mewariskan desain kurikulum bagi sekolah Islam dan madrasah, yang merupakan perpaduan apik antara kurikulum di pesantren dan kurikulum pada sekolah umum. Kurikulum yang integralistik ini, bahkan tidak banyak mengalami perubahan dari produk pemikiran Dahlan saat itu, kecuali penyesuaian terhadap kurikulum pemerintah (baca: Kemendiknas). Dalam hal kurikulum ini juga, Dahlan telah berhasil memasukkan pendidikan agama ke dalam lembaga pendidikan umum, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta non-agama. Walaupun dewasa ini banyak kajian dan diskusi tentang minimnya pendidikan agama pada sekolah umum, yang dituduh sebagai sumber rendahnya akhlak peserta didik, namun “jihad” yang dilakukan oleh Dahlan ketika berusaha untuk mengajarkan agama di sekolah umum pada lebih kurang seratus tahun lalu itu pantas mendapat pujian. Usaha Dahlan waktu itu paling tidak telah memberikan porsi –walau dirasa sangat kurang– pendidikan agama untuk diajarkan pada sekolah umum non agama. Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi :
Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik  berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yangutuh yang berkeseimbangan antara perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinandan intelek, antara perasaan dengan akal pikiran serta antara dunia dan akhirat.
Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dankeinginan hidup bermasyarakat.
Meskipun demikian, Ahmad Dahlan belum memiliki konsep kurikulum dan materi pelajaran yang baku. Muatan kurikulum pelajaran agama menurut Ahmad Dahlan bisa dilihat dari materi pelajaran agama yang diajarkannya dalam pengajian- pengajian di madrasah dan pondok Muhammadiyah. K.R.H Hadjid, salah seorang murid Ahmad Dahlan, mengumpulkan ajaran gurunya ke dalam sebuah buku berjudul “Ajaran Ahmad Dahlan dan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran” yang merupakan catatan pribadinya selama mengikuti pelajaran agama. Dari pelajaran tersebut dapat dikelompokkan bahwa Ahmad Dahlan banyak menyampaikan materi yang berkaitan dengan keimanan, akhlak dan semangat untuk berjuang membela agama dan membantu sesama.

Konsep pendidikan Abdullah Ahmad
Riwayat hidup
Abdullah ahmad lahir Padang Panjang, pada tahun 1878, Ia adalah putera H. Ahmad, seorang ulama Minangkabau yang senantiasa mengajarkan agama di surau-surau, di samping sebagai saudagar kain bugis.[8]
Pendidikan Abdullah Ahmad dimulai dengan mempelajari agama Islam kepada orang tuanya serta beberapa guru yang ada di daerahnya. Setelah baligh, isa dimasukkan ke sekolah kelas dua (sekolah yang diperuntukkan bagi kaum pribumi) di Padang Panjang. Karena ayahnya seorang ulama yang berpikiran modern, maka Abdullah Ahmad sangat diharpakan agar menjadi orang terpelajar dan memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang agama.
Selanjutnya pada usia tujuh belas tahun (1895), ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, sambil melanjutkan pelajaran agama pada Syaikh Ahmad Khatib, seorang ulama asal Minangkabau yang bermukim di Mekkah, serta kepada beberapa ulama lainnya diMekkah. Salah satu pertimbangan dikirimnya Abdullah Ahmad ke Mekkah karena di Minangkabau pada saat itu belum ada Sekolah agama yang teratur baik, ssementara di Mekkah terkenal sebagai pusat penyebaran agama islam.
Berkat ketekunan dan kecerdasannya dalam menguasai pengetahuan agama, selama di Mekkah, Abdullah Ahmad pernah diangkat sebagai asisten dari Syeikh Abdul Kahtib. Selanjutnya, ia kemabali dan mulai mengajar di Surau Jembatan Besi Padang Panjang. Di daerahnya ini, dia mulai mengajar dengan cara tradisional, yaitu dengan sistem Halaqoh.[9]
Pada tahap selanjutnya Abdullah Ahmad mengubah sistem pengajaran tradisionalnya itu dengan sistem sekolah agama (Madrasah) yang diberi nama Adabiyah School. Penamaan ini mungkin sekali dimaksudkan sebagai simbol kebangkitan ilmu pengetahuan sebagai penunjang utama bagi kebangkitan peradaban islam, dan mungkin pula diilhami oleh Hadits Nabi yang berbunyi “Tuhanku telah mendidikku, maka perbaikilah pendidikanku.”[10]
Proses belajar mengajar dengan menggunakan sistim klasikal tersebut menggunakan sarana yagn biasa digunakan pada sekolah pemerintahan belanda, maka dari itu Abdullah Ahmad mendapat tentangan keras dari ulama tradisional yang meniru orang kafir.
Diantara karyanya ia sudah menulis beberapa buku diantaranya, Majalah Al-Munir, Titian ke Surga, Majalah Al-Islam, Ilmu Sejati, Pintu Surga, Al-Ittifaq, Izharu, Zaglil Kadzibin, dan karya tulis lainnya.

Konsep Pendidikan Abdullah Ahamd.
Konsep di bidang pendidikan yang dikemukakan Abdullah Ahmad yaitu meliputi tiga asprk, aspek kelembagaan, aspek metode dan aspek kurikulum.
1.     Aspek Kelembagaan
Salah satu ide pembaharuan pendidikan yang dibawa oleh Abdullah Ahmad adalah di bidang kelembagaan atau instansi pendidikan. Dalam awal berdirinya Sekolah Adabiyah, dia sering bekerja sama dengan guru dan ulama yang terkenal di Padang. Dan ekolah yang didirikan tersebut sebagai mana yang dijelaskan yaitu menggunakan fasilitas sebagaimana yang didirikan oleh pemerintah Belanda, yaitu menggunakan meja, kursi, papan tulis, dan alat kegitan belajar mengajar lainnya. Dengan guru-guru yang mempunyai legalitas pemerintah Belanda dengan tujuan untuk menghilangkan kecurigaan pemerintah Belanda.
Sejalan dengan perkembangan, sekolah Adabiyan di ubah menjadi bercorak Holands Maleische School (HOS), yaitu tingkat pendidikan setara dengan Sekolah Dasar seperti yang ada sekarang. Tetapi bedanya dengan HIS, sekolah Abdulah Ahamd mengajarkan Al-Qur’an dalam materi kurikulumnya. Dengan itu sekolah Adabiyah mendapat subsidi dari pemerintah Belanda.
Pada perkembangan selanjutnya, jenjang pendidikan sekolah ini bertambah dengan berdirinya Taman Kanak-kanak (TK). Namun pada zaman penjajahan Jepang sekolah TK ini dibubarkan. Dan ditambah dengan Sekolah Tinggi Administrasi Islam (STAI).
Kemodernan lembaga pendidikan adabiyah juga ditandai oleh adanya sikap keterbukaan dalam membolehkan para siswa yang berasal dari golongan manapun denag syarat agam islam. Sebagai mana yang dikatakan Lothrop Stoddart, HIS Adabiyah merupakan starting point (babak baru) dalam pembaharuan pendidikan yang mempengaruhi berdirinya lembaga pendidikan Islam modern yang tidak hanya terbatas pada tingkat sekolah dasar, tetapi juga tingkat sekolah menengah pertama dan menengah atas sampai tingkat tinggi dengan berbagai nama.
Cirri kemodernan lain dari lembaga Pendidikan Adabiyah School adalah karena dipilihnya guru-guru yang berbobot, setaraa bobot para guru yang mengajar di sekolah Belanda.
2.     Aspek Metode Pengajaran
Metode debating club termasuk metode yang diterapkan  oleh Abdulah Ahmad. Metode yang sekarang dikenal dengan metode diskusi merupakan metode yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada murid untuk bertanya dan berdialog secara terbuka tentang berbagai hal yag menyangkut masalah agama yang pada saat itu dianggap sangat tabu dan kurang dianggap beadap. Metode ini sebenarnya menenmpatkan para siswa untuk aktif dari pada metode sebelumnya yang menempatkan para siswa untuk pasif mendengarkan guru.[11]
Selain itu, Abdullah Ahmad mengajukan metode pemberian hadiah dan hukuman sebagaimana yang berkembang saat ini. Menutnya, pemberian hadiah akan menyenangkas siswa dan hukuman untuk anak yang melanggar atau bersikap kurang terpuji, dengan syarat hukuman tidak boleh keras, karena akan mengurangi keberanian siswa.
Metode lain yang di terapkan Abdullah Ahmad adalah metode bermain dan rekreasi. Rekreasi perlu diberikan kepada anak agar anak tidak bosan, yang akan berdampak perilaku buruk anak didik dan akhirnya akan mematikan hati anak dan membuatnya sulit untuk menerima pelajaran.
3.     Aspek Kurikulum
Sebagaimana lembaga pendidikan modern, sekolah adabiyah juga menggunakan kurikulum dalam kerangka kerja sistematis pengajaran mereka. Lain dengan seklah tradisional yang materi ajarnya diserahkan sepenuhnya sesuai kemauan kiyai. Sekolah Adabiyah memiliki kurikulum yang memuat pelajaran agama dan pelajaran umum, seperti ilmu kalam, berhitung, sejarah, bahkan bahasa Belanda. Dari rencana pelajaran yang diterapkan sekolah Adabiyah yang bercorak agama ini, dapat disimpulkan bahwa sekolah ini memakai konsep kurikulum  integrated (integrate curriculum of education), yaitu terpadunya anatara  pengetahuan umum dengan pengetahuan agama serta bahasa dalam program pendidikan sebgaimana tercantum dalam setiap rencana pengajaran.
Dalam pandangan Abdullah Ahmad, baik bahasa Arab maupun bahasa Belanda memegang peranan penting dalam rangka tercapainya cita-cita pembaharuan dan dalam rangka alih ilmu pengetahuan.








[1] Zamakhsjari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 41
[2] Abdul Mu’ti, Konsep Pendidikan, hal. 201
[3] Hery Sucipto, K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, Jakarta: Best Media Utama, 2010), hal. 113
[4] Abdul Mu’ti, Konsep Pendidikan, hal. 202
[5] Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islamm (Jember: Mutiara Offset, 1985), hal. 92.
[6] Abdul Mu’ti, Konsep Pendidikan, hal. 205.
[7] Abdul Mu’ti, Konsep Pendidikan, hal. 206.
[8] Nata Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2000. Hal 157
[9] Sistem Halaqoh adalah cara pengajaran yang dilakukan dengan cara seorang guru didtangi para santri. Mereka duduk melingkar di sekeliling guru sambil mengikuti pelajaran yang disampaikan guru.
[10] Hadits yang diriwayatkan Al-Asykari.
[11] Nata Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2000

No comments:

Post a Comment