PENDIDIKAN PERBANDINGAN
KONSEP PENDIDIKAN K.H. AHMAD DAHLAN DAN ABDULLAH AHMAD
Heru Prasetyo
Biografi K.H. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir pada
tahun 1868 di kampung Kauman (Yogyakarta) dan meninggal pada tanggal 25
Februati 1923. Nama kecil Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia berasal dari
keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ia merupakan anak
kelima dari K.H. Abu Bakar, yang merupakan seorang imam dan khatib masjid besar
Kraton Yohyakarta. Ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah
menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Semenjak kecil Darwis
diasuh dan dididik sebagai putera kyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan
belajar membaca, menulis, mengaji al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan
ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, seperti umumnya santri
pada waktu itu, setelah memiliki dasar-dasar pendidikan agama Islam, Darwis
menjadi “musafir pencari ilmu
yang mengembara dari pesantren satu ke pesantren lainnya untuk memperdalam
ilmu agama.
Ketika Muhammad Darwis
berumur 15 tahun (1883), dengan dibiayai oleh kakak iparnya, K.H. Soleh, ia
berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus melanjutkan
studinya dan bemukim di Mekah selama lima tahun. Dalam studinya tersebut
Muhammad Darwis banyak belajar ilmu agama dari para ulama terkenal. Diantara
gurunya waktu itu adalah Sayyid Bakri Syata’, salah seorang mufti madzhab
Syafi’i yang bermukim di Mekkah. Bahkan Sayyid Bakri Syata’–lah yang mengganti
nama Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan.[1]
K.H. Ahmad Dahlan juga banyak melakukan mudzakkarah dengan sejumlah
ulama Indonesia yang bermukim di sana, diantaranya adalah; Syeikh Muhammad
Khatib al-Minangkabawi, K.H. Ahmad Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide
pembaharuan melalui penganalisaan kitab-kitab yang ditulis oleh pembaharu
Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab,
Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
Ide pembaharuan yang
berkembang di Timur Tengah sangat menarik hati K.H. Ahmad Dahlan, terutama bila
melihat realita dinamika umat Islam Indonesia yang cukup stagnan. Sehingga,
sepulangnya ke tanah air, ia sangat aktif menyebarkan gagasan pembaharuan ke
berbagai daerah. Kemudian, atas desakan para muridnya dan beberapa anggota
Boedi Oetomo, maka K.H. Ahmad Dahlan merasa perlu untuk merealisasikan ide
pembaharuannya melalui sebuah organisasi keagamaan yang permanen. Maka
didirikanlah organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912 di
Yogyakarta. Juga membentuk suatu wadah bagi para pemudanya melalui Hizbul
Wathan, untuk kaum perempuan dibentuk ‘Aisyiyah.
Ahmad Dahlan adalah
seorang yang sangat berani. Bagi dia, kebenaran harus tetap dilaksanakan dan
ditegakkan, sekalipun harus berhadapan dengan kekuasaan. Hal ini, menurut Abdul
Mu’ti, dibuktikan dalam dua hal.
Pertama, kiblat masjid Besar Kasultanan yang menurut Dahlan tidak sama persis dengan
perhitungan falaq.
Kedua, adalah kasus perbedaan penentuan tanggal 1 Syawwal antara perhitungan falaq
dengan aboge.[2]
Secara umum, menurut Nizar, ide-ide pembaharuan Dahlan
dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu; Pertama, berupaya
memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari khurafat, tahayul, dan bid’ah
yang selama ini telah bercampur dalam aqidah dan ibadah umat Islam. Kedua,
mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui
reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat
diterima oleh rasio.
Pemikiran Pendidikan
K.H. Ahmad Dahlan
Tahun 1656, dapat
dipandang sebagai titik awal bangsa Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di
Indonesia. Awal keberadaannya di Indonesia, Belanda sama sekali tidak menaruh
perhatian pada bidang pendidikan. Tiga abad kemudian, barulah mereka mulai
merasakan perlunya mendirikan sekolah, tepatnya pada tahun 1854 dan hanya
dikhususkan pada anak-anak Belanda.
Mengutip tulisan
Siregeg, Khozin menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Belanda, pendidikan di
Indonesia terbagi menjadi empat sistem persekolahan.
“Pertama, sekolah Eropa yaitu sekolah yang
menampung anak-anak Hindia Belanda. Kedua, sekolah Barat adalah sekolah
yang menampung anak-anak yang berwarga negara Belanda. Ketiga, sekolah
vernakuler. Kurikulum di sekolah ini disusun oleh Belanda. Tujuan pendidika di
sekolah ini hampir sama dengan sekolah Barat, bahasa pengantarnya adalah bahasa
daerah. Keempat, sekolah pribumi. Yaitu sistem persekolahan yang ada di
luar kontrol pemerintah Hindia Belanda
Sistem persekolahan
sebagaimana di atas, tentu akan mempertajam jurang pemisah antara penduduk
pribumi dengan orang-orang Belanda sebagai penjajah. Dilihat dari perspektif
Islam, maka sistem pendidikan yang demikian disamping membawa pengaruh positif,
unsur-unsur negatifnya bagi umat Islam sudah barang tentu akan lebih dominan,
terutama dampak sekularisme. Jika sistem pendidikan ini tetap dipertahankan,
maka tidak menutup kemungkinan umat Islam akan semakin jauh terseret dalam
proses sekularisasi.
Untuk mensosialisasikan
pembaharuannya terutama dalam bidang pendidikan, Ahmad Dahlan mencoba
memulainya dengan membimbing beberapa orang keluarga dekatnya serta beberapa
temannya. Tampat yang semula digunakan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya
adalah pengajian-pengajian dan tempat-tempat lain di mana ia memberikan pelajaran.
Untuk mewujudkan ide
pembaharuan di dalam bidang pendidikan, Dahlan merasa perlu mendirikan lembaga
pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan
sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup
langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia
menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisional
secara integral.
Pada perkembangan berikutnya, Ahmad Dahlan mencoba
mendirikan sebuah madrasah dengan memakai bahasa Arab sebagai pengantar dalam
lingkungan kraton Yogyakarta, namun usaha ini gagal. Selanjutnya atas dorongan
para pengurus Boedi Oetomo, pada tanggal 1 Desember 1911 Ahmad Dahlan
mendirikan sebuah sekolah dasar di lingkungan kraton Yogyakarta. Di sekolah ini
pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem
pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan sekolah Islam swasta
pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah dan
kemudian mendapatkan subsidi tersebut. Tidak berpuas diri mendirikan satu
sekolah, Dahlan juga mendirikan sekolah yang sama di kampung Yogya yang lain.
Setelah membentuk
perkumpulan Muhammadiyah, pada tanggal 18 Nopember 1912, pendidikan yang
dirintis oleh Dahlan berkembang dengan pesatnya. Untuk memenuhi tenaga pengajar
pada sekolah-sekolah tersebut, di samping guru yang berasal dari sekolah
pemerintah, juga dari sekolah calon guru yang didirikan oleh Dahlan sendiri
pada 8 Desember 1921, yaitu Kweek School Muhammadiyah (Madrasah Mu’allimin) dan
Kweek Istri Muhammadiyah (Madrasah Mu’allimat).[3]
Pelaksanaan pendidikan
–menurut Dahlan– hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini
merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan
Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua
sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai ‘abd Allah dan khalifah
fi al-ardh.
Pada pembahasan
berikutnya, penulis akan uraikan mengenai konsep pendidikan Ahmad Dahlan yang
dituangkan dalam berbagai lembaga pendidikan yang dibangunnya. Dalam hal
penelusuran mengenai konsep pendidikan Ahmad Dahlan ini tentu mengalami
beberapa kendala –kalau tidak boleh disebut kesulitan– mengingat Dahlan bukanlah
seorang teoritis yang menuangkan ide-ide pembaharuan pendidikannya melalui
tulisan. Dahlan adalah seorang pragmatikus. Murid dari ulama Syafi’i, Syaikh
Ahmad Khatib yang terkenal di Mekkah ini, mengajarkan semboyan kepada
murid-muridnya: Sedikit bicara banyak bekerja. Maka, tidak satupun konsep
pendidikan yang ia tuangkan dalam tulisan baik berupa buku maupun catatan
lainnya.
Tujuan Pendidikan
Ahmad Dahlan tidak
secara khusus menyebutkan tujuan pendidikan. Tetapi dari pernyataan yang
disampaikannya dalam berbagai kesempatan, tujuan pendidikanAhmad Dahlan adalah
: “ Dadijo Kijahi sing kemadjoean, adja kesel anggonmoenjamboet gawe kanggo Moehammadijah”.
Dalam pernyataan sederhana tersebut, terdapat beberapa hal penting, yaitu
“kijahi”, “kemadjoean” dan “njamboet gawe kanggo Moehammadijah”.[4]
Istilah Kiai merupakan sosok yang sangat menguasai
ilmu agama. Dalam masyarakat Jawa, seorang Kiai, adalah figur yang shalih,
berakhlaq mulia dan menguasai ilmu agama secara mendalam. Istilah kemajuan
secara khusus menunjuk kepada kemoderenan sebagai lawan dari kekolotan dan
konservatisme. Pada masa Ahmad Dahlan kemajuan sering diidentikkan dengan
penguasaan ilmu-ilmu umum atau intelektualitas dan kemajuan secara material.
Sedangkan kata “njamboet gawe kanggo Moehammadijah” merupakan manifestasi dari
keteguhan dan komitmen untuk membantu dan mencurahkan pikiran dan tenaga
untuk kemajuan umat Islam, pada khususnya, dan kemajuan masyarakat pada
umumnya.
Berdasarkan pemahaman tersebut, Amir Hamzah
menyimpulkan tujuan pendidikan menurut Ahmad Dahlan adalah untuk membentuk
manusia yang :
a.
‘Alim dalam ilmu agama;
b. Berpandangan luas, dengan memiliki pengetahuan umum;
c.
Siap berjuang, mengabdi
untuk Muhammadiyah dalam menyantuni nilai- nilai keutamaan pada masyarakat.[5]
Rumusan tujuan
pendidikan tersebut merupakan “pembaharuan” dari tujuan pendidikan yang
saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren
dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren
hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama.
Di dalam sistem pendidikan pesantren tidak diajarkan sama sekali pelajaran
dan pengetahuan umum serta penggunaan huruf latin. Semua kitab dan tulisan yang
diajarkan menggunakan bahasa dan huruf Arab. Sebaliknya, pendidikan
sekolah model Belanda merupakan pendidikan “sekuler” yang di dalamnya tidak
diajarkan agama sama sekali. Pelajaran di sekolah ini menggunakan huruf latin.
Akibat dualisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia: lulusan
pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan lulusan
sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat
bahwa tujuan pendidikan yang “sempurna” adalah melahirkan individu yang
“utuh” : menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spiritual serta dunia
dan akhirat. Bagi Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum,
material-spiritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa Ahmad Dahlan mengajarkan
pelajaran agama ekstra kurikuler diKweekschool Jetis dan Osvia Magelang serta
mendirikan madrasah Muhammadiyah yang didalamnya mengajarkan ilmu agama dan
ilmu umum sekaligus.
Metode Mengajar
Di dalam menyampaikan ilmu agama, K.H. Ahmad Dahlan
tidak menggunakan pendekatan yang tekstual, melainkan kontekstual. Bagaimana
cara ia mengajarkan agama antara lain dijelaskan oleh K.H. Mas Mansur, yang
merupakan salah seorang murid dan teman seperjuangannya. Dalam hal ini, K.H.
Mas Mansur, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Mu’ti, menyebutkan:
“KHA. Dahlan gemar
sekali mengupas tafsir dan pandai pula tentang hal itu. Kalau menafsirkan
sebuah ayat, beliau selidiki lebih dahulu dalam tiap-tiap perkataan dalam ayat
itu satu demi satu. Beliau lihat kekuatan atau perasaan yang terkandung oleh
perkataan itu di dalam ayat yang lain-lain, barulah beliau sesuaikan dengan
keadaan hingga keterangan beliau itu hebat dan dalam serta tepat.”[6]
Di samping menggunakan
penafsiran yang kontekstual, Ahmad Dahlan berpendapat, bahwa pelajaran agama
tidak cukup hanya dihafalkan saja atau difahami secara kognitif, tetapi harus
diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
Dalam hal metode
mengajar ini, Ahmad Dahlan memilih menggunakan metode ceramah. Sebagai guru, ia
masih merupakan sumber utama dari proses pembelajaran. Hal ini tentu dapat
dipahami, mengingat kondisi saat itu, selain juga masih terbawa metode
pendidikan ala pesantren. Seperti kita ketahui, dalam pesantren saat itu,
pembelajaran yang menggunakan metode bandongan dan sorogan, sistem
pengajarannya berjalan satu arah. Dari kyai kepada santri, di sini kyai
merupakan satu-satunya sumber belajar, selain kitab-kitab yang dipelajarai
tentunya. Dalam sistem dan metode semacam ini, hampir pasti tidak ada unsur
dialogis.
Namun demikian,
sekalipun metode pembelajarannya nir-diskusi, namun Dahlan menerapkan pola
“learning by doing” (belajar sambil melakukan). Ilmu yang telah diajarkan harus
diamalkan, karena ilmu dan amal adalah satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan.
Selanjutnya, dilihat
dari sistem penyelenggaraannya, sekolah yang diselenggarakan oleh Ahmad Dahlan
meniru sistem persekolahan model Belanda. Dalam mengajar, Dahlan menggunakan
kapur, papan tulis, meja, kursi dan peralatan lain sebagaimana lazimnya sekolah
Belanda. Berkaitan dengan langkah tersebut, Dahlan berpendapat bahwa untuk
memajukan pendidikan diperlukan cara-cara sebagaimana yang digunakan dalam sekolah
yang maju. Meniru model penyelenggaraan sekolah tidak berarti mengabaikan
ajaran agama sebab penyelenggaraan sistem pendidikan merupakan wilayah muamalah
yang harus ditentukan dan dikembangkan sendiri.[7]
Catatan Kritis
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan. Sekalipun tidak dalam formulasi dan rumusan filsafat pendidikan yang
eksplisit, K.H. Ahmad Dahlan telah meletakkan landasan bagi lahirnya pendidikan
Islam modern di nusantara. Sumbangan Ahmad Dahlan tersebut setidaknya dapat
dilihat dari tiga aspek.
Aspek Kelembagaan
K.H. Ahmad
Dahlan telah berhasil meletakkan landasan lahirnya lembaga pendidikan Islam
modern di Indonesia. Sistem sekolah Islam dan madrasah yang sekarang ini
merupakan model lembaga pendidikan Islam yang paling dominan merupakan
pengembangan lebih lanjut dari sistem sekolah dan madrasah yang dikembangkan
oleh Dahlan.
Aspek Kurikulum,
Dahlan telah mewariskan
desain kurikulum bagi sekolah Islam dan madrasah, yang merupakan perpaduan apik
antara kurikulum di pesantren dan kurikulum pada sekolah umum. Kurikulum yang
integralistik ini, bahkan tidak banyak mengalami perubahan dari produk
pemikiran Dahlan saat itu, kecuali penyesuaian terhadap kurikulum pemerintah
(baca: Kemendiknas). Dalam hal kurikulum ini juga, Dahlan telah berhasil
memasukkan pendidikan agama ke dalam lembaga pendidikan umum, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta non-agama. Walaupun dewasa ini
banyak kajian dan diskusi tentang minimnya pendidikan agama pada sekolah umum,
yang dituduh sebagai sumber rendahnya akhlak peserta didik, namun “jihad” yang
dilakukan oleh Dahlan ketika berusaha untuk mengajarkan agama di sekolah umum
pada lebih kurang seratus tahun lalu itu pantas mendapat pujian. Usaha Dahlan
waktu itu paling tidak telah memberikan porsi –walau dirasa sangat kurang–
pendidikan agama untuk diajarkan pada sekolah umum non agama. Berangkat dari
tujuan pendidikan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi
pendidikan hendaknya meliputi :
Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha
menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Quran dan
As-Sunnah.
Pendidikan individu,
yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yangutuh yang
berkeseimbangan antara perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinandan
intelek, antara perasaan dengan akal pikiran serta antara dunia dan akhirat.
Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk
menumbuhkan kesediaan dankeinginan hidup bermasyarakat.
Meskipun demikian,
Ahmad Dahlan belum memiliki konsep kurikulum dan materi pelajaran yang baku.
Muatan kurikulum pelajaran agama menurut Ahmad Dahlan bisa dilihat dari materi
pelajaran agama yang diajarkannya dalam pengajian- pengajian di madrasah
dan pondok Muhammadiyah. K.R.H Hadjid, salah seorang murid Ahmad Dahlan,
mengumpulkan ajaran gurunya ke dalam sebuah buku berjudul “Ajaran Ahmad Dahlan
dan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran” yang merupakan catatan pribadinya
selama mengikuti pelajaran agama. Dari pelajaran tersebut dapat dikelompokkan
bahwa Ahmad Dahlan banyak menyampaikan materi yang berkaitan dengan keimanan,
akhlak dan semangat untuk berjuang membela agama dan membantu sesama.
Konsep
pendidikan Abdullah Ahmad
Riwayat hidup
Abdullah ahmad
lahir Padang Panjang, pada tahun 1878, Ia adalah putera H. Ahmad, seorang ulama
Minangkabau yang senantiasa mengajarkan agama di surau-surau, di samping
sebagai saudagar kain bugis.[8]
Pendidikan
Abdullah Ahmad dimulai dengan mempelajari agama Islam kepada orang tuanya serta
beberapa guru yang ada di daerahnya. Setelah baligh, isa dimasukkan ke sekolah
kelas dua (sekolah yang diperuntukkan bagi kaum pribumi) di Padang Panjang.
Karena ayahnya seorang ulama yang berpikiran modern, maka Abdullah Ahmad sangat
diharpakan agar menjadi orang terpelajar dan memiliki pengetahuan yang luas
dalam bidang agama.
Selanjutnya
pada usia tujuh belas tahun (1895), ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan
ibadah haji, sambil melanjutkan pelajaran agama pada Syaikh Ahmad Khatib,
seorang ulama asal Minangkabau yang bermukim di Mekkah, serta kepada beberapa
ulama lainnya diMekkah. Salah satu pertimbangan dikirimnya Abdullah Ahmad ke
Mekkah karena di Minangkabau pada saat itu belum ada Sekolah agama yang teratur
baik, ssementara di Mekkah terkenal sebagai pusat penyebaran agama islam.
Berkat
ketekunan dan kecerdasannya dalam menguasai pengetahuan agama, selama di
Mekkah, Abdullah Ahmad pernah diangkat sebagai asisten dari Syeikh Abdul
Kahtib. Selanjutnya, ia kemabali dan mulai mengajar di Surau Jembatan Besi
Padang Panjang. Di daerahnya ini, dia mulai mengajar dengan cara tradisional,
yaitu dengan sistem Halaqoh.[9]
Pada tahap
selanjutnya Abdullah Ahmad mengubah sistem pengajaran tradisionalnya itu dengan
sistem sekolah agama (Madrasah) yang diberi nama Adabiyah School. Penamaan ini
mungkin sekali dimaksudkan sebagai simbol kebangkitan ilmu pengetahuan sebagai
penunjang utama bagi kebangkitan peradaban islam, dan mungkin pula diilhami
oleh Hadits Nabi yang berbunyi “Tuhanku telah mendidikku, maka perbaikilah
pendidikanku.”[10]
Proses
belajar mengajar dengan menggunakan sistim klasikal tersebut menggunakan sarana
yagn biasa digunakan pada sekolah pemerintahan belanda, maka dari itu Abdullah
Ahmad mendapat tentangan keras dari ulama tradisional yang meniru orang kafir.
Diantara karyanya
ia sudah menulis beberapa buku diantaranya, Majalah Al-Munir, Titian ke Surga,
Majalah Al-Islam, Ilmu Sejati, Pintu Surga, Al-Ittifaq, Izharu, Zaglil
Kadzibin, dan karya tulis lainnya.
Konsep
Pendidikan Abdullah Ahamd.
Konsep di
bidang pendidikan yang dikemukakan Abdullah Ahmad yaitu meliputi tiga asprk,
aspek kelembagaan, aspek metode dan aspek kurikulum.
1. Aspek Kelembagaan
Salah satu ide pembaharuan pendidikan yang dibawa oleh Abdullah Ahmad
adalah di bidang kelembagaan atau instansi pendidikan. Dalam awal berdirinya
Sekolah Adabiyah, dia sering bekerja sama dengan guru dan ulama yang terkenal
di Padang. Dan ekolah yang didirikan tersebut sebagai mana yang dijelaskan
yaitu menggunakan fasilitas sebagaimana yang didirikan oleh pemerintah Belanda,
yaitu menggunakan meja, kursi, papan tulis, dan alat kegitan belajar mengajar
lainnya. Dengan guru-guru yang mempunyai legalitas pemerintah Belanda dengan
tujuan untuk menghilangkan kecurigaan pemerintah Belanda.
Sejalan dengan perkembangan, sekolah Adabiyan di ubah menjadi bercorak
Holands Maleische School (HOS), yaitu tingkat pendidikan setara dengan Sekolah
Dasar seperti yang ada sekarang. Tetapi bedanya dengan HIS, sekolah Abdulah
Ahamd mengajarkan Al-Qur’an dalam materi kurikulumnya. Dengan itu sekolah Adabiyah
mendapat subsidi dari pemerintah Belanda.
Pada perkembangan selanjutnya, jenjang pendidikan sekolah ini bertambah
dengan berdirinya Taman Kanak-kanak (TK). Namun pada zaman penjajahan Jepang
sekolah TK ini dibubarkan. Dan ditambah dengan Sekolah Tinggi Administrasi
Islam (STAI).
Kemodernan lembaga pendidikan adabiyah juga ditandai oleh adanya sikap
keterbukaan dalam membolehkan para siswa yang berasal dari golongan manapun
denag syarat agam islam. Sebagai mana yang dikatakan Lothrop Stoddart, HIS Adabiyah
merupakan starting point (babak baru) dalam pembaharuan pendidikan yang
mempengaruhi berdirinya lembaga pendidikan Islam modern yang tidak hanya
terbatas pada tingkat sekolah dasar, tetapi juga tingkat sekolah menengah
pertama dan menengah atas sampai tingkat tinggi dengan berbagai nama.
Cirri kemodernan lain dari lembaga Pendidikan Adabiyah School adalah
karena dipilihnya guru-guru yang berbobot, setaraa bobot para guru yang
mengajar di sekolah Belanda.
2. Aspek Metode Pengajaran
Metode debating club termasuk metode yang diterapkan oleh Abdulah Ahmad. Metode yang sekarang
dikenal dengan metode diskusi merupakan metode yang memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada murid untuk bertanya dan berdialog secara terbuka tentang
berbagai hal yag menyangkut masalah agama yang pada saat itu dianggap sangat
tabu dan kurang dianggap beadap. Metode ini sebenarnya menenmpatkan para siswa
untuk aktif dari pada metode sebelumnya yang menempatkan para siswa untuk pasif
mendengarkan guru.[11]
Selain itu, Abdullah Ahmad mengajukan metode pemberian hadiah dan
hukuman sebagaimana yang berkembang saat ini. Menutnya, pemberian hadiah akan
menyenangkas siswa dan hukuman untuk anak yang melanggar atau bersikap kurang
terpuji, dengan syarat hukuman tidak boleh keras, karena akan mengurangi
keberanian siswa.
Metode lain yang di terapkan Abdullah Ahmad adalah metode bermain dan
rekreasi. Rekreasi perlu diberikan kepada anak agar anak tidak bosan, yang akan
berdampak perilaku buruk anak didik dan akhirnya akan mematikan hati anak dan
membuatnya sulit untuk menerima pelajaran.
3. Aspek Kurikulum
Sebagaimana lembaga pendidikan modern, sekolah adabiyah juga menggunakan
kurikulum dalam kerangka kerja sistematis pengajaran mereka. Lain dengan seklah
tradisional yang materi ajarnya diserahkan sepenuhnya sesuai kemauan kiyai.
Sekolah Adabiyah memiliki kurikulum yang memuat pelajaran agama dan pelajaran
umum, seperti ilmu kalam, berhitung, sejarah, bahkan bahasa Belanda. Dari
rencana pelajaran yang diterapkan sekolah Adabiyah yang bercorak agama ini,
dapat disimpulkan bahwa sekolah ini memakai konsep kurikulum integrated (integrate curriculum of
education), yaitu terpadunya anatara
pengetahuan umum dengan pengetahuan agama serta bahasa dalam program
pendidikan sebgaimana tercantum dalam setiap rencana pengajaran.
Dalam
pandangan Abdullah Ahmad, baik bahasa Arab maupun bahasa Belanda memegang
peranan penting dalam rangka tercapainya cita-cita pembaharuan dan dalam rangka
alih ilmu pengetahuan.
[3] Hery Sucipto, K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan
Pendiri Muhammadiyah, Jakarta: Best Media Utama, 2010), hal. 113
[5] Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran
Islamm (Jember: Mutiara Offset, 1985), hal. 92.
[8] Nata Abudin, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Hal 157
[9] Sistem Halaqoh adalah cara pengajaran yang dilakukan dengan cara
seorang guru didtangi para santri. Mereka duduk melingkar di sekeliling guru
sambil mengikuti pelajaran yang disampaikan guru.
No comments:
Post a Comment