ALIRAN-ALIRAN DALAM PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
Hal pertama yang harus
diketahui yaitu bisa memahami elan vital pendidikan Islam adalah kenyataan
bahwa Islam pada dasarnya mengandung ''potensi-potensi'' perekat diantara
pemikiran para ahli pendidikan, bahkan kesamaan dalam banyak hal, terutama
tujuan dan meode pengajaran yang berkembang di dunia Muslim.
Pemikiran pendidikan Islam
kental dengan trend nuansa agamisnya, sehinggan trend lain menjadi tidak
dominan, disaat seseorang dalam menafsirkan realitas dunia berpangkal pada
agama maka wajar dan logis bila agama sangat menjiwai pola piker dan cara
pandangnya hingga pendidikan pun dijadikannya sebagai instrument terencana
untuk mencapai tujuan.
Rumusan tentang tujuan
penuntut ilmu dalam kitab Imam al-Ghazali ihya' untuk memperoleh ilmu
yang bermanfaat di akhirat dan yang mendorong melakukan ketaatan kepada Allah,
dengan cara menjauhi ilmu-ilmu yang kurang bermanfaat dan banyak memunculkan
perdebatan atau perang mulut, dan juga perlunya memperkokoh keberhasilan
menuntut ilmu.
Dalam kitabnya lagi yaitu Ayyuh
al-walad ia menasihati penuntut ilmu agar giat bekerja untuk memahami
kebutuhan duniawinya sekadar berapa lama akan hidup di dalamnya dan giat
berusaha untuk kepentingan akhirat sekadar berapa lama akan tinggal di sana.
Tujuan keagamaan dijabarkan
secara jelas oleh syekh al-Thusi, ia mengaharuskan kepada setiap muridnya untuk
berniat mencari ridho Allah, menghilangkan kebodohan, menjayakan agama dan
mengembangkan Islam melalui amar ma'ruf dan nahi munkar semaksimal mungkin
dalam menuntut Ilmu.
Adapun Ibnu Jamaah
mengingatkan kita bahwa seluruh uraian tentang Hadist dimaksudkan bagi para
Alim yang menjalankan ilmu mereka dengan baik dan semata-mata karena Allah, ada
beberapa hal yang bisa di cermati disini yaitu hal pertama al-ilm
yang dalam alquran dan hadist bersifat mutlak menjadi muqoyyad (menyempit)
hanya pada ilmu tentang tuhan menurut sebagian besar ahli pendidikan Muslim
saat itu seperti Ikhwan al-Shafa, Ibn Miskawih dan Ibn Khaldun. Lebih jauh lagi
Ibn Jamaah menuntut para murid untuk meninggalkan profesi kasar dan rendah,
baik secara syar'iy maupun secara adat-istiadat setempat, seperti pekerjaan
sebagai pembekam dan penyamak kulit. Tujuan akhir yaitu Ilmu menjadi tertutup
dari kemungkinan untuk pelayanan bagi kehidupan kemanusiaan dibumi, kemajuan
dan kesejahteraan masing-masing individunya.
Syekh al-Thusi mengatakan
Cukuplah hanya berdasar kelezatan ilmu, ia menjadi landasan kita untuk
menuntutnya '' Al-Ghazali memandang Ilmu termasuk sebagai sesuatu yang dicari
untuk tujuan keilmuan itu sendiri bukan tujuan diluarnya dan karena itu ilmu
lebih utama dibanding sesuatu yang dicari karena tujuan di luarnya.
Hal pertama kali yang
menimbulkan kekaguman pemerhati dan pengkaji tentang para ahli pendidikan
Muslim adalah penghargaan mereka terhadap persoalan pendidikan yang sangat
tinggi, bahkan mereka menilainya sebagai wujud tanggung jawab moral yang sangat
luhur.mereka menganggap tugas mengajar tidak sekadar sebagai profesi kerja,
melainkan lebih sebagai tuntutan kewajiban agama.di tuturkan Ibn Hajar
al-Haitami dalam risalah Tahrir al-Maqal yang dijadikan sebagai dasar
penulisan. Ibnu hajar adalah seorang pendidik yang menunaikan tugas mendidik
sebagai profesi pertama dan utama dalam hidupnyam untuk bisa berkecimpung
dengan pengolalaan Kutta (tempat belajar) dan pembinaan anal-anak. Dia melihat
segala persoalan dari sudut pandang keagamaan murni dan sangat berhati-hati
dalam segala hal, karena khawatir bertindak maksiat dan keliru tanpa disadari
Rasa kepekaan keagamaan yang
sangat kuat akan tanggunga jawab agama berimplikasi pada kesepakatan para ahli
dan pemerhari pendidikan Muslim terhadap semacam kode etik pengajaran, beberapa
prinsip dasar kode etik itu yang bisa di simpulkan dari literature-literatur
kependidikan Islam adalah sebagai berikut.
Prinsip pertama : keharusan Ilmu dibarengi dengan
pengalamannya.
Prinsip kedua : menghindarkan diri dari ketamakan
Prinsip ketiga : bersikap hati-hati dalam menerima
pemberian dan hadiah
Prinsip keempat : bersikap toleran dan pemaaf
Prinsip kelima : menghargai kebenaran
Prinsip keenam : keadilan dan keinsyafan
Prinsip ketujuh : meninggalkan sikap keras kepala dan
berlagak serba tahu
Prinsip kedelapan : ilmu adalah untk pengabdian kepada
orang lain
Kelompok ikhwan al-Shafa dan semisalnya dari kalangan
pecinta pemikiran yunani memadukan antara sudut pandang dengan sudut pandang
kefilsafatan dalam menjabarkan konsep ilmu, sehingga mereka berpendapat bahwa
pengetahuan itu semuanya muktasabah (hasil perolehan dari aktifitas belajar)
dan yang menjadi modal utamanya adalah indera.
Plato telah menjelaskan pandangannya tentang teori
jiwa yang menjadi landasan baginya dalam menafsirkan fenomena keragaman
manusia, baik dalam watak maupun profesinya, juga pengajaran yang sesuai.
Implikasi dari pandangan tersebut, maka terdapat teori
pembagian tiga jenis yang berada pada tiga jenis kelolmpok sosial yaitu :
-
Jiwa intelektual yang dimiliki oleh para filosof dan
ilmuan, menurut plato mereka adalah strata terunggul dari sisi kecerdasan dan
kelompok orang yang layak diserahi urusan pengaturan dan pemerintahan.
-
Jiwa pemberani yang dimiliki oleh para prajurit yang
berbadan gagah perkasa yang ditugasi menjaga dan mengamankan kedaulatan negara
dari serangan musuh.
-
Jiwa hedonistik yang dimilik oleh sastra sosial bawah,
yaitu golongan mayoritas (rakyat banyak) yang ditugasi melakukan aktifitas
produksi, baik dalam pertanian, kerajinan, maupun perdagangan.
Menurutnya setiap individu
secara given mempunyai potensi tertentu, peran setiap individu dalam masyarakat
telah ditakdirkan sebelum ia terlahir didunia ini. Karena itu, jenis pendidikan
yang relevan dan harus diselenggarakan dibawah control negara adalah pendidikan
yang selaras dengan jenis jiwa masing-masing individu.
Aliran utama dalam pemikiran pendidikan Islam dapat di
bedakan menjadi tiga :
1. Aliran
agamis-konservatif
2. Aliran
religious-rasional
3. Aliran
pragmatis-instrumental.
No comments:
Post a Comment