RIWAYAT IBNU SINA DAN FILSAFATNYA
A. Riwayat Hidup Ibnu Sina
Ia adalah Abu Ali Al Husaini bin Abdullah bin Sina. Dilahirkan pada
tahun 370 H/ 980 M di Bukhaira. Bapaknya adalah Wali kota Saman. Ia sangat
memperhatikan pendidikan Anaknya, sehingga sebelum umur 10 tahun, Ibnu Sina
telah menguasai Al Qur'an dan sastra. Hal ini membangkitkan keaguman yang luar
biasa terhadapnya. Kemudian Ibnu Sina dibimbing oleh filosuf Abu Abdillah an
Natali yang mengajarinya logika. Ketika itu mulailah tertarik kepada Ilmu
kedokteran, Ibnu Sina belajar kepada Isa bin Yahya. Kemudian ia menekuni Ilmu Syari'at
dan geometeri.
Usianya masih 17 tahun, ketika raja
Bukhara memanggil Ibnu Sina untuk mengobati lumpuh yang dideritanya, setelah
para dokter tidak ada yang sanggup melakukan pengobatan. Dengan kecakapannya,
Ibmu Sina berhasil menyembuhkan penyakit tersebut. Sebagai penghormatannya,
raja membuka gudang perpustakaanya untuk Ibnu Sina. Ia pun menghabiskan
waktunya di sana dan karenanya banyak memperoleh manfaat. Kemudian
perpustakaanya terbakar, sehingga ia pun tidak tertandingi oleh orang lain karena pengetahuan luas yang dimilikinya dari
perpustakan tersebut.
Fase kedua dari perjalanan hidupnya
digunakan untuk mengabdi, bertualang dan bekerja. Ia mengunjungi beberapa negara
dan menjabat di beberapa kementrian, namun tak sedikitpun waktu yang ia lalui
tanpa belajar dan membaca kembali. Ia meninggal di Hamadzan tahun 428 H/1037 M
pada usia ke 85 tahun.
Para ilmuwan Eropa sangat tertarik kepada
pemikiran kedokteran Ibnu Sina. Mereka menterjemahkannya dan mengomentarinya.
Bahkan mereka menggelari dirinya dengan dokter Arab (Muslim) sejati. Beberapa
gagasan filsafat dan pemikirannya menyerbu daratan Eropa, mendasari pemikiran
Eropa modern sesuai pengakuan para ilmuwannya. Ia adalah filosof muslim yang
dikenal pemikirannya ditengah tengah masyarakat latin sebelum dikenalnya
filsafat Aristoteles. Hal ini dikarenakan kedekatannya dengan filsafat
Agustinus yang memiliki kecenderungan Platonisme. Arus pemikirannya baru
melemah setelah diterjemahkannya pemikiran Ibnu Rusyd ke Bahasa Latin, dimana
pemikirannya masih berpengaruh dan terus dipelajari hingga abad kebangkitan.
Kitab kitab Ibnu Sina sangat banyak dengan
berbagai variasi dalam temannya.
Diantaranya:
- Kitab Al Qanun fi-at-Thib.
- Asy-Syifa, kitab yang membahas tentang filsafat, dan sebagai karya terbesarnya dalam bidang filsafat.
- An Najat, ringkasan kitab Asy-Syifa.
- Tis'u Rasail fi Ath-Thabbiyat wa al Ajram Al Uluwiyah wa Al Quwa al Insaniyah.
Ia juga memiliki kitab
tentang pembagian hikmah dan cabang cabangnya, ilmu hudud, penetapan nubuwah,
makna huruf Hijaiyyah dan Ilmu Etika.
- Rasail Ibnu Sina, Risalah Hayy bin Yaqhzan,Risalah al- Isqh dan Risalah Al Qadar.
- Ibnu Sina juga memiliki kasidah dan beberapa risalah dalam logika, serta kasidah dalan psikologi.
B.
Filsafatnya
1.
At
Taufiq ( Rekonsiliasi ) antara Agama dan Filsafat
Ibnu
Sina mengusahakan pemaduan antara agama dan filsafat. Menurutnya nabi dan
filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yang disebut Malaikat Jibril,
Akal ke sepuluh dan Akal Aktif. Perbedaanya hanya cara memperolehnya, bagi nabi
terjadinya hubungan dengan Malaikat Jibrill melalui akal meterill yang disebut
( hads) atau kekuatan suci Qudsiyah, sedangkan filosof dengan Akal Mustafad. Nabi
memperoleh akal meterill yang dayanya jauh lebih kuat daripada akal Mustafad
yang dayanya jauh lebih rendah daripada akal
materill melalui latihan berat.
Pengetahuan yang diperoleh nabi adalah wahyu, berlainan pengetahuan yang
diperoleh filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi antara keduanya tidaklah
bertentangan.
Ibnu
Sina juga memberikan ketegasan tentang perbedaan antara para nabi dan para filosof. Mereka yang
disebut pertama, menurutnya adalah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang
bagi manusia lain untuk mengusahaan dirinya sebagai nabi. Sementara yang
dimaksud manusia yang kedua adalah manusia yang mempunyai intelektual yang
tinggi dan tidak bisa jadi nabi.
Pembagian
manusia yang dimajukan Ibnu Sina menjadi dua tingkatan, awam dan terpelajar,
adalah hal yang biasa. Namun pendapatnya yang mengatakan bahwa kebenaran yang
disebut dengan wahyu ditujukan pada tingkatan awam dan kebenaran dalam bentuk
filsafat ditujukan dalam tingkatan terpelajar agak meragukan, tetapi apabila
yang dimaksudkan kebenaran dalam bentuk wahyu secara eksplisit ditujukan kepada
tingkatan awam, maka dapat diterima. Namun yang jelas, Ibnu Sina dalam
mengharmoniskan antara filsafat dan agama juga menggunakan takwil.
Dalam
pandangan Ibnu Sina para nabi sangat diperlukan bagi kemaslahtan manusia dan
alam semesta. Hal ini disebabkan para nabi dengan mukjizatnya dapat dibenarkan
dan diikuti manusia. Dengan kata yang lain, kebenaran yang sebutkan nabi,
seperti adanya hari Akhir dan lain lain,
dapat diterima dan dibenarkan manusia, baik secara rasional maupun syar'i.
2.
Jiwa
Harus
diakui bahwa keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat jiwa. Kata
Jiwa dalam Al Qur'an dan Al Hadits diistilahkan dengan al-nafs atau ar-ruh
sebagaimana tertera dalam surat Shad : 71 – 72. Jiwa jiwa manusia sebagai jiwa
yang lain dan segala apa yang terdapat di bawah rembulan, memancar dari akal
sepuluh. Secara garis besarnya pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi pada
dua bagian berikut.
a. Fisika, membicarakan tentang jiwa tumbuh
tumbuhan, hewan dan manusia.
1. Jiwa tumbuh tumbuhan mempunyai tiga daya :
makan, tumbuh, dan berkembang biak, jadi jiwa jiwa pada tumbuhan hanya
berfungsi untuk makan, tumbuh dan
berkembang biak.
2. Jiwa binatang mempunyai dua daya : gerak (
al mutaharrikat ) dan menangkap ( Al mudtikat). Daya yang terakhir ini terbagi
menjadi dua bagian :
a. Menangkap dari luar dengan panca indra.
b. Menangkap dari dalam dengan indra indra batin (al
Hawas al batiniyah) yang terdiri atas lima indra berikut:
1. Indrda bersama (al hiss al musytarak)
yaitu menerima segala apa yang ditangkap oleh indra luar.
2. Indra al hayal, yang merima segala apa
yang diterima oleh indra bersama.
3. Imajinasi (al mutakhayyilat) yang menyusul
apa yang disimpan dalam khayyal.
4. Indra wahmiyah (estimasi) yang dapat
menangkap hal hal yang abstrak yang terlepas dari materinya, seperti keharusan
lari bagi kambing ketika melihat serigala.
5. Indra pemeliharaan (rekolelsi) yang
menyimpan hal hal yang abstrak yang diterima oleh indra estimasi.
Dengan demikian, jiwa binatang lebih
tinggi fungsinya daripada jiwa tumbuh tumbuhan, bukan hanya sekedar makan,
tumbuh berkembang biak, tetapi telah bekerja dan bertindak serta telah
merasakan sulit dan senang seperti
manusia.
3. Jiwa manusia yang disebut juga al nafs al
nathiqat, mempunyai dua daya : praktis dan teoritis. Daya praktisnya
hubungannya dengan jasad, sedangkan daya teoritis hubungannya dengan hal hal
yang abstrak Daya teoritis ini mempunyai empat tingkatan berikut.
a. Akal Materiil (al 'aql al hayulany) yang
semata mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walauun sedikit.
b. Akal al malakat (al aql bil malakat)yang
telah dapat berpikir tentang hal hal yang abstrak.
c. Akal Aktual ( al aql bil fi'il) yang telah
berfikir tentang hal hal yang abstrak.
d. Akal Mustafad ( al aql mustafad) yaitu
akal yang telah sanggup berfikir tentang hal hal yang abstrak tanpa perlu daya
upaya. Akal yang seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan
ilmu pengetahuan dari Akal Aktif.
b. Metafisika, memberikan tentang hal hal
berikut.
1. Wujud Jiwa
Dalam membuktikan adanya
jiwa, Ibnu Sina mengemukakan empat dalil berikut.
a. Dalil alam kejiwaan
Dalil ini berdasarkan pada
fenomena gerak dan pengetahuan. Gerak menjadi dua jenis.
- Gerakan paksaan yaitu gerakan yang timbul pada suatu benda disebabkan adanya dorongan dari luar.
- Gerakan tidak paksan, yaitu gerakan yang terjadi baik yang sesuai dengan hukum alam maupun yang berlawanan. Gerakan yang sesuai dengan hukum alam.seperti batu jatuh dari atas saaaampai bawah.
b. Konsep "aku" dan kesatuan
fenomena psikologis
Dalil itu oleh Ibnu Sina
didasarkan pada hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan pribadinya atau
mengajak orang lain berbicara, yang dimaksudkan pada hakekatnya adalah jiwanya,
bukan jisimnya. Ketika Anda berkata, saya akan keluar atau saya akan tidur,
maka ketika itu yang dimaksudkan bukanlah gerak kaki atau memejamkan mata,
tetapi hakekatnya adalah jiwanaya.
c. Dalil Kontinuitas (al istimrar)
Dalil ini berdasarkan pada
perbandingan jiwa dan jasad. Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan
pergantian. Kulit yang kita pakai ini sekarang tidak sama denghan kulit sepuluh
tahun yang lewat karena telah mengalami perubahan, seperti mengerut dan
berkurang. Demikian halnya seperti bagian jasad yang lain, selalu mengalami
perubahan. Sementara itu, jiwa bwrsifat kontinue tidak mengalami perubahan dan
pergantian. Jiwa yang kita pakai sekarang jiwa sejak lahir juga dan akan
berlangsung selama umum tanpa mengalami perubahan. Oleh karena itu, jiwa berbeda
dengan jasad.
d. Dalil
manusia terbang atau manusia melayang di udara.
Dalil ini merupakan daya
kreasi Ibnu Sina yang sangat mengagumkan, meskipun dasarnya bersifat asumsi
atau khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya dalam memberikan keyakinan. Ringkasannya
ialah sebagai berikut.
Diandaikan ada orang tercipta
satu kali jadi dan mempunyai wujud wujud dirinya bukan hal dari inderanya dan jasmaninya,
melainkan dari sumber lain yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa.
2.
Hakekat Jiwa
Definisi
jiwa yang dikemukakan Aristoteles yang berbunyi, "Kesempurnaan awal bagi
jasad alami yang organis" ternyata tidak memuaskan Ibnu Sina. Pasalnya,
definisi tersebut belum memberikan gambaran tentang hakekat jiwa yang
membedakannya dari jasad. Menurut Aristoteles, manusia sebagaimana layaknya
benda alam lain terdiri dari dua unsur : madat (materi) dan Shurot (form).
Materi adalah jasad manusia dan
shurat adalah jiwa manusia. Form inilah
yang dimaksud aristoteles dengan
kesempurnaan awal bagi jasad. Implikasinya hancurnya materi atau jasad akan
membawa hancurnya form atau jiwa.
Justru
itulah, untuk membedakan hakikat jiwa dari jasad, Ibnu Sina mendefinisikan jiwa
dengan jauhar rohani. Definisi ini
mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rokhani, tidak tersusun dari
materi materi sebagaimana jasad.
Dalam menetapkan kekebalan jiwa, Ibnu Sina
mengemukakan tiga dalil berikut:
- Dalil al infishal, yaitu perpaduan antara jiwa dan jasad bersifat aksident, masing masing unsur memiliki substansi tersendiri, yang berbeda antara satu dan lainnya. Karenanya jiwa kekal walaupun jasad binasa. Sementara itu, jasad tidak bisa hidup tanpa jiwa.
- Dalil Al bashatat, yaitu jiwa adalah jauhar rohani yang hidup selalu dan tidak mengenal mati. Pasalnya hidup sifat dari jiwa, dan mustahil bersifat dengan lawannya, yakni fana dan mati. Karena itu jiwa dinamakan juga dengan jauhar bashith.
- Dalil al Mushabahat, dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia, sesuai dengan filsafat emansi, bersumber dari akal fa'al sebagai pemberi segala bentuk. Karena akal sepuluh ini merupakan esensi yang berpikir, azali dan kekal, maka jiwa sebagai ma'lul (akibatnya) akan kekal.
3. Hubungan
Jasad dengan jiwa
Sebelum Ibnu Sina, Aristoteles dan
Plato telah membicarakan hubungan antara
jiwa dan jasad.Aristoteles menggambarkan hubungan keduanya bersifat
esensial. Dan Plato sebaliknya, hubungan keduanya bersifat accident karena jiwa
dan jasad adalah dua substansi yang berdiri sendiri.
Ibnu
Sina kelihatannya menerima penekanan Aristoteles tentang eratnya hubungan
antara jiwa dan jasad, namun hubungan yang bersifat esensial ia tolakkarena
jiwa akan fana dengan binasanya jasad. Dalam hal ini ia lebih cenderung
sependapat dengan Plato bahwa hubungan keduanya bersifat accident, binasanya
jasad tidak membawa binasanya jiwa.
Menurut
Ibnu Sina,selain eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya juga saling
memengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa,adanya jasad
adalah syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak diciptakan
tanpa adanya jasad yang akan ditempatinya. Jika
tidak demikian tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya
jasad ditempati beberapa jiwa.
4. Kekekalan Jiwa
Seperti yang dipaparkan
sebelumnya, jiwa manusia diciptakan setiap kali jasad yang akan ditempatinya
telah diadakan. Pendapat ini sekaligus
menolak konsep Plato yang berkesimpulan bahwa jiwa sudah ada di alam idea sebelum jasad
yang ditempati ada. Jika pendapat Plato ini diterima, seperti dikemukakan di atas akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad,
atau adanya suatu tubuh ditempati beberapa jiwa, sementara itu di akherat akan terjadi pembalasan secara
kolektif.
Ibnu Sina kelihatannya lebih
cenderung berkesimpulan sesuai dengan apa yang disinyalkan Al Qur'an.
Menurutnya jiwa manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan
hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan
menerima pembalasan (bahagia dan celaka) di akherat. Akan tetepi kekalnya ini
dikekalkan Allah (al khuld). Jadi, jiwa adalah baharu (al huds) karena
diciptakan (punya awal) dan kekal (tidak punya Akhir).
Dalam nenetapkan kekalnya
jiwa, Ibnu Sina mengemukakan tiga dalil berikut :
- Dalil Al Infishal, yaitu perpaduan antara jiwa dan jasad yang bersifat aksiden, masing masing unsur mempunyai substansi tersendiri, yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Karenanya Jiwa kekal walaupun jasad binasa.Sementara itu jasad tidak dapat hidup tanpa adanya jiwa.
- Dalil Al Bashathat, yaitu jiwa adalah jauhar rohani yang hidup selalu dan tidak mengenal mati. Pasalnya hidup (hayy) merupakan sifat bagi jiwa dan mustahil bersifat dengan lawannya, yakni fana dan mati. Karenanya jiwa dinamakan dengan jauhan bashit (hidup selalu)
- Dalil al Musyabahat, dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia sesuai dengan filsafat emansi, bersumber dari akal Fa'al (akal sepuluh) sebagai pemberi segala bentuk. Karena Akal Sepuluh ini merupakan esensi yang berfikir, azali dan kekal, maka jiwa sebagai ma'lul (akibatnya) akan kekal sebagaiman illat (sebabnya)
Sesuai dengan isyarat diatas,
secar eksplisit mengatakan bahwa yang dibangkitkan di akherat nanti hanya
rohnya. Pengingkaran jasmanilah yang menimbulkan kritik tajam Al Ghazali,
Bahkan filosofnya ilmu hukum ikut keluar dari Islam. Uraian ini mengandung arti
bahwa pembalasan di akherat nanti disediakan untuk roh semata, sedangkan jasad
akan lenyap seperti jasad tumbuhan dan hewan. Padahal manusia yang diberi beban
oleh agama adalah manusia yang tersusun dari jasad dan roh.
Dalam uraian di atas
mengisyaratkan bahwa Ibnu Sina menempatkan jiwa manusia pada peringkat yang
paling tinggi. Di samping daya untuk berfikir, jiwa manusia juga mempunyai daya
daya yang ada pada tumbuhan dan hewan. Penjelasan di atas juga menunjukan bahwa
menurut Ibnu Sina jiwa manusia tidak hancur dengan hancurnya badan. Semantara
itu, jiwa tumbuhan dan hewan yang ada di dalam diri manusia akan hancur dengan
matinya badan dana tidak akan dihidupkan kembali di akherat. Karena fungsi
fungsinya bersifat fisik dan jasmani, pembalasan untuk kedua jiwa ini
ditentukan di dunia juga.
Demikianlah pembahasan Ibnu
Sina, kendatipun kebanyakan pemikiran pemikiran filsafatnya telah dikemukakan
Al Farobi. Numun dia telah berhasil memberikan
uraian yang sangat rinci dan lengkap dengan gaya yang menarik. Karenanya
tepat sekali penilaian yang mengatakan bahwa di tangan Ibnu Sinalah filsafat
Islam di dunia timur mencapai puncak yang tertinggi.
Referensi :
Zar,
Sirojuddin, 2004, Filsafat Islam, Jakarta,
Rajawali Press
Ibn Sina.
1938. al Najat. Musthafa al Babiy al Halaby. Kairo
Ibnu Sina dan Filsafatnya
Diajukan untuk memenuhi tugas akhir semester Satu
Dalam mata kuliah
Filsafat Umum
Dosen pembimbing:
Drs. H. Muhammad Shadiq
Oleh :
Nasrul Umam
Firman Muharrom
Jurusan Pendidikan
Agama Islam
Fakultas Tarbiyah
Institute Studi
Islam Darussalam
Pondok Modern
Darussalam Gontor
1429/2008
No comments:
Post a Comment