Wednesday, 1 March 2017

Pemikiran SAYYID QUTHB



SAYYID QUTHB
Pendahuluan
Quthb lahir dengan nama lengkap Sayyid Quthb Ibrahim Husein asy-Syadzili pada tanggal 9 Oktober 1906 M. (1326 H.) di Musya, sebuah pedesaan yang terletak di dekat kota Asyut, hulu Mesir. Ayahnya pernah aktif di Partai Nasional pimpinan Musthofa Kamil, hal ini mungkin yang menanamkan pada diri Quthb kesadaran politik yang tinggi.
Perjalanan intelektual Quthb dimulai dari desa di mana dia lahir dan dibesarkan. Di bawah asuhan orang tuanya, Quthb berhasil menghafal Alquran dalam usia relatif dini, 10 tahun. Menyadari bakat tersebut, orang tuanya memindahkan keluarga ke Hilwan, daerah pinggiran Kairo, agar Quthub memperoleh kesempatan masuk ke Tajhiziyah “Dar al-‘Ulum” (nama lama dari Universitas Cairo).
Pembahasan
Pada tahun 1929, Quthb kuliah di Dar al-‘Ulum dan memperoleh gelar Sarjana Muda di bidang Pendidikan pada tahun 1933, kemudian bekerja sebagai pengawas pada Departemen Pendidikan. Tahun 1949 ia mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat untuk memperdalam pengetahuannya di bidang Pendidikan selama 20 tahun, tepatnya di Wilson's Teacher's College Washington dan Stanford University California.
Sekembalinya dari Amerika, Quthb bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin karena kekagumannya pada Hasan Al-Banna, pendiri gerakan tersebut. Quthb menjadi tokoh penting dalam kelompok ini. Pada tahun 1954, Quthb diangkat menjadi Pemimpin Redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Namun, baru dua bulan terbit, harian tersebut dibredel oleh pemerintahan Gammal Abdul Nasser.
Menurut Quthb, saat itu Ikhwanul Muslimin menghadapi situasi yang hampir sama dengan situasi masyarakat saat Islam datang untuk pertama kalinya, yaitu kebodohan tentang akidah Islam dan jauh dari nilai-nilai etik Islam (jahiliyah). Namun sayangnya, kesucian niat dan semangatnya dalam memperjuangkan orang banyak mengantarnya ke penjara pada 13 Juli 1955.
Pada tahun 1964 Quthb dibebaskan atas permintaan Abdul Salam Arif, Presiden Irak, yang mengadakan kunjungan ke Mesir. Saat itu, menurut informasi Abdul Hakim Abidin, salah seorang sahabatnya, Abdul Salam meminta Quthb untuk ikut bersamanya ke Irak, tetapi dia menolak seraya menyatakan, "Ini adalah medan perjuangan yang tidak bisa saya tinggalkan".
Setahun kemudian (1965) ia kembali ditangkap. Presiden Nasser menguatkan tuduhannya bahwa Quthb berkomplot untuk membunuhnya. Berdasarkan UU No. 911 tahun 1966, Presiden mempunyai kekuasaan untuk menahan siapa pun yang dianggap bersalah.
Sayyid Quthb diadili oleh Pengadilan Militer pada tanggal 12 April 1966. Tuduhannya sebagian besar berdasarkan tulisannya, Ma'alim fi ath-thariq, di mana isinya dianggap berupaya menumbangkan pemerintahan Mesir dengan kekerasan. Kemudian, pada 21 Agustus 1966 Sayyid Quthb bersama Abdul Fattah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy dinyatakan bersalah dan dihukum mati.
Quthb dihukum gantung bersama dua orang sahabatnya pada 29 Agustus 1966. Pemerintah Mesir tidak menghiraukan protes dari Amnesti Internasional yang memandang proses peradilan militer terhadap Sayyid Quthub sama sekali bertentangan dengan rasa keadilan.
 Sejak saat itu Quthb dijuluki sebagai Syahid bagi kebangkitan Islam, yang rela mengorbankan nyawanya di tiang gantungan.
Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an, Sarana Dakwah dari Balik Jeruji Penjara
Umej Bhatia (peneliti di Pusat Studi Timur Tengah, Universitas Harvard, AS), dalam A Critical Reading of Sayyid Quthb's Qur'anic Exegesis, mengatakan, pada kondisi sosial dan politik itulah karya-karya Sayyid Quthb tentang pergerakan melawan penguasa tiran harus dipahami. Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an (Di Bawah Naungan Alquran) merepresentasikan gagasan-gagasan pergerakan tersebut.
Umej Bhatia menilai, tafsir Fi Zhilal al-Qur'an menyajikan cara baru dalam menafsirkan Alquran yang belum pernah dilakukan oleh ulama-ulama klasik. Sayyid Quthb memasukkan unsur-unsur politik dan ideologi dengan sangat serasi. Boleh dibilang, tafsir yang satu ini paling unik karena menjadikan Alquran sebagai pijakan utama untuk melakukan revolusi politik dan sosial.
Tampaknya, menurut Umej, Sayyid Quthb dipengaruhi oleh dua ulama agung sebelumnya, yakni Muhammad Abduh dan Rashid Ridho. Tafsir  Al-Mannar karya kedua ulama tersebut lebih memfokuskan penafsiran Alquran dalam konteks sosial masyarakat ketimbang mengupas makna kata per kata. "Akan tetapi, Sayyid Quthb selangkah lebih maju daripada kedua pendahulunya itu. Ia berhasil mengolaborasikan teori-teori sosial Barat ke dalam pesan-pesan agung Alquran," kata Umej.
Penilaian serupa juga disampaikan oleh Dr Ahzami Samiun Jazuli, pakar tafsir Alquran dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Menurut Ahzami, tafsir yang ditulis oleh Sayyid Quthb ini merupakan tafsir haraki (tafsir pergerakan) atau tafsir dakwah. Sang ulama tidak menggunakan  manhaj (metode) penulisan tafsir seperti ulama-ulama terdahulu, misalnya tafsir tahlili (tafsir analitis) yang memulai penafsiran dari penjelasan kata dalam ayat Al quran.
"Sayyid Quthb tidak menjelaskan panjang lebar makna kata dalam suatu ayat. Tidak pula menerangkan secara detail aspek-aspek  fiqhiyyah (hukum-hukum fikih) karena pembahasan semacam itu sudah banyak dikupas dalam kitab-kitab tafsir klasik," jelas Ahzami.
Alquran bagi Sayyid Quthb merupakan kitab pedoman hidup yang komprehensif ke arah kehidupan yang diridhai Allah SWT. Oleh sebab itu, ia menamai tafsirnya itu  Fi Zhilal al-Qur'an supaya umat Islam benar-benar berada dalam tuntunan dan naungan Alquran.
Tafsir  Fi Zhilal al-Qur'an merupakan hasil dari dinamika akademis, politik, dan sosial. Ia tidak semata-mata rekreasi intelektual yang mendekati Alquran dari perspektif ilmu pengetahuan. Namun, juga menggunakan pendekatan atas dasar pengalaman hidup sang penulis. Tidak mengherankan, kata Ahzami, kalau kitab tafsir ini berpengaruh besar terhadap umat Islam di seluruh dunia, terutama mereka yang aktif dalam gerakan dakwah.
Dr Muchlis Hanafi, ahli tafsir lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, melihat fenomena tafsir  Fi Zhilal al-Qur'an ini dari sudut pandang yang berbeda. Menurutnya, ada beberapa aspek yang menonjol dalam karya Sayyid Quthb itu. Di antaranya adalah  al-zauq al-adabi (ketinggian nilai sastra). Sayyid Quthb, menurut Muchlis, menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dengan gaya bahasa yang sangat indah. Sehingga, punya kekuatan magnetik dan pengaruh yang besar terhadap pembacanya.
Kelebihan lainnya, menurut Muchlis, adalah  al-wihdah al-maudhu'iyyah (kesatuan tema). Setiap surat yang ia tafsirkan diawali dengan mukadimah. Dan, mukadimah itu menjelaskan secara komprehensif isi surah sehingga tampak benang merah dan kesatuan tema sebuah surah.
Metode ini bukanlah hal baru dalam tradisi penafsiran Alquran, tetapi Sayyid Quthb berhasil menggunakannya dengan sangat baik. Saat ini, dapat disaksikan sebuah tafsir kontemporer yang bernilai tinggi. Namun demikian, tafsir ini tidak serta-merta lolos dari kritik para pegiat tafsir Alquran.
Dari segi metodologi, banyak yang menilai bahwa Sayyid Quthb melanggar tata aturan penafsiran Alquran yang dianut oleh para ulama salaf. Ia terlalu banyak menggunakan akal daripada merujuk pada Alquran, hadis Nabi SAW, dan tradisi para sahabat.
Ide-ide revolusioner Umej Bhatia berpendapat bahwa penjara dan penyiksaan berperan penting dalam membentuk karakter pemikiran Sayyid Quthb. Umej memakai istilah  prison perspective (perspektif penjara) bagi perspektif Sayyid Quthb dalam penafsiran Alquran. Yaitu, sebuah cara pandang korban keganasan rezim otoriter terhadap realitas sosial politik di masanya.
Kepahitan pengalaman politik Sayyid Quthb mendorongnya menyerukan konsep  hakimiyatullah (kekuasaan hanya milik Allah) sebagaimana diusung oleh Abu al-'Ala al-Maududi di Pakistan.  Hakimiyatullah berarti kekuasaan harus dikembalikan kepada Allah, bukan dikuasai manusia zalim yang melanggar hukum-hukum Tuhan. Umat Islam wajib berjihad mengembalikan tata aturan itu sesuai dengan doktrin Alquran.
Untuk itu, menurut Sayyid Quthb, perlu ada gerakan  At-Thali'ah al-Islamiyah , yaitu menyiapkan generasi Muslim baru yang berpegang teguh pada ajaran-ajaran Allah serta mendidik mereka untuk menjadi pemimpin umat di masa depan. Ide-ide pergerakan dan perlawanan Sayyid Quthb itu tampak jelas dalam mukadimah tafsirnya pada surah Al-An'am.
Ia memaparkan konsep masyarakat ideal sesuai dengan tuntunan Islam; berseru kepada para juru dakwah untuk konsisten berada di jalan ini; serta menancapkan akidah agar sistem pemerintahan yang terbentuk kelak tidak melanggar tata aturan yang ditetapkan Allah SWT. "Orang-orang yang tidak memiliki akidah adalah pribadi-pribadi jahiliyah. Kejahiliyahan mereka memenuhi akal, pikiran, dan hati," tegas Sayyid Quthb.
Dalam pemaparannya tentang tatanan sosial politik yang ideal menurut doktrin Islam, Sayyid Quthb tidak segan-segan melabeli status 'kafir' kepada para penguasa zalim atau yang melanggar hukum Allah. Ini mengundang respons beragam dari banyak kalangan, bahkan dari ulama sendiri.
Dr Yusuf al-Qardhawi menilai bahwa pemikiran takfir (pengkafiran pada Muslim lain) dalam karya Sayyid Quthb sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang dianut mayoritas umat Islam di dunia. Pemikiran ini, tambah Qardhawi, juga tidak mencerminkan pemikiran gerakan Ikhwan al-Muslimin karena pemikiran takfir sama sekali tidak selaras dengan pemikiran organisasi itu (RepublikaOnline, 9 Agustus 2009).
Pernyataan Qardhawi tersebut disanggah sejumlah tokoh Ihkwan al-Muslimin. Menurut mereka, Sayyid Quthb tidak keluar dari Ahlussunnah wal Jamaah. Semua pemikiran Sayyid Quthb selaras dengan  manhaj Ikhwan al-Muslimin, tidak ada satu pun yang menyalahi kaidah dan dasar organisasi tersebut. Quthb, menurut mereka, juga tidak pernah mengafirkan kelompok Islam lain dan tidak pernah mendakwahkan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah (Republika Online, 19 Agustus 2009).
Menawarkan Pemecahan Problem Umat Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an ditulis oleh Sayyid Quthb selama kurang lebih 15 tahun, yaitu sejak tahun 1950-an hingga 1960-an. Pada mulanya, ia memulai menulis tafsirnya itu atas permintaan rekannya, Said Ramadhan, redaktur majalah  Al-Muslimun yang terbit di Kairo dan Damaskus.
Sang mufasir menyambut baik permintaan itu dan memberi nama rubrik tersebut  Fi Zhilalil Quran. Tulisan pertama yang dimuat adalah penafsiran surah Alfatihah, kemudian surah Albaqarah. Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Sayyid Quthb memutuskan menyusun satu kitab tafsir sendiri yang juga ia beri nama  Fi Zhilalil Quran.
Karya beliau lantas dicetak dan didistribusikan oleh penerbit al-Bab al-Halabi. Penerbitan pertamanya tidak langsung berjumlah 30 juz, namun tiap satu juz. Setiap juznya terbit dalam dua bulan sekali. Proses penyempurnaan penafsiran selanjutnya diselesaikan dalam penjara.
Edisi pertama dalam bentuk 30 juz diterbitkan pada tahun 1979. Sejak saat itu, persebarannya meluas hingga mencapai hampir seluruh negara Muslim di dunia. Umej Bhatia mencatat, kitab tafsir ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, Turki, Urdu, Bengali, Indonesia, dan Melayu.
Di negara-negara Arab, volume penjualan tafsir  Fi Zhilal al-Qur'an bak kacang goreng. Selama bertahun-tahun, tafsir itu menjadi  best seller. Menurut cerita Syekh Abdullah Azzam, pada pertengahan 1980-an, jika di Lebanon ada percetakan mulai bangkrut, kemudian pemiliknya mencetak  Fi Zhilalill Quran dan juga buku-buku Sayyid Quthb yang lain, percetakan tersebut selamat dari kebangkrutan.
Gaya bahasa dan kualitas penafsiran Sayyid Quthb merupakan daya pikat utama bagi para pembaca untuk menyelami samudra ilmu Alquran. Di dalamnya tersaji konsep-konsep Islam modern tentang jihad, masyarakat jahiliyyah dan Islam, serta ummah.
Konsep-konsep tersebut menumbuhkan kesadaran baru akan gerakan sosial politik berdasarkan doktrin Islam. Tak ayal, banyak peneliti Barat yang melabeli Sayyid Quthb sebagai pengusung radikalisme, ekstremisme, fundamentalisme, atau atribut-atribut yang menjurus pada nuansa kekerasan lainnya.
Tentang konsep umat, Sayyid Quthb mengutarakan bahwa pembentukan pribadi umat harus berdasarkan keimanan yang kokoh, optimisme pada rahmat dan pertolongan Allah, serta rasa percaya diri sebagai umat terbaik yang diutus Allah di muka bumi ini. Segala permasalahan umat, menurutnya, harus dicarikan solusinya dari kitab Allah SWT dan sunah nabi.
"Keimanan berimplikasi pada sikap pasrah dan menyerah kepada hukum-hukum Allah. Jiwa-jiwa yang tulus akan menerima segala sistem hukum dan perundangan Islam secara sukarela. Tidak terdetik satu penentangan pun sejak aturan tersebut dikeluarkan. Juga, tak ada sedikit pun keengganan untuk melaksanakannya ketika hukum itu diterima," kata Sayyid Quthb dalam mukadimah surat Al-An'am.
Secara umum, tema yang ditekankan dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur'an meliputi gagasan tentang hubungan antarsesama manusia. Allah SWT, menurutnya, menghendaki sebuah bangunan sosial yang harmonis berdasarkan keimanan dan cinta kasih. Konsep ini menghindarkan terbentuknya kekuasaan tiran yang menebarkan kebencian, kebodohan, dan kekafiran.
Islam adalah satu-satunya solusi nyata untuk materialisme sejati
Saat ia berada di Amerika Serikat, Syed Quthb mengamati pengaruh buruk materialisme yang sebenarnya, marah terhadap kondisi tersebut sehingga berpikir kepada siapa ia memahami masalah dari Islam. Dia segera yakin sepenuhnya kalau hanya Islam satu-satunya yang bisa memberi solusi nyata untuk materialisme sejati itu dan memandu ummat manusia menuju negara yang makmur.
Sekembalinya dari Amerika Serikat, Syed Quthb mulai mempelajari maksud dan tujuan Ikhwanul Muslimin, dan pada tahun 1945 dia mendaftarkan diri menjadi anggotanya. Selama Perang Dunia II, Inggris sudah berjanji akan memberi kemerdekaan kepada Mesir. Ikhwanul Muslimin segera menagih janji itu setelah perang, mendesak Inggris keluar dari Mesir. Masalah ini membuat popularitas ikhwan meningkat pesat, sehingga dalam dua tahun anggota mereka naik menjadi 2,5 juta. Keanggotaan umum, pendukung, dan simpatisan mereka juga bertambah beberapa kali. Inggris dan kaki tangannya, yakni pemerintah mesir menjadi cemas dan kemudian bersekutu menghadapi tantangan Persaudaraan Muslim.
            Pada 12 Maret 1950, pendiri dan Ketua Persaudaraan Muslim Hasan Al-Banna menjadi martir dan organisasi itu dilarang. Tahun 1952 diberlakukan kondisi darurat di Mesir dan Persaudaraan Muslim dilegitimasi. Dr. Hasan Al Hudaibi menjadi ketuanya dan Syed Quthb menjadi anggota komite pusat. Dia bertugas menyebar cita-cita partai, dan berkat usahanya partai ini menyebar pesat.
            Tahun 1954, Quthb menjadi redaktur majalah Ikhwan al Muslimin, dinamai sesuai partai yang mengelolanya. Setelah enam bulan, Kolonel Naser melarang penerbitan majalah itu karena pemerintah mesir oleh kolonel Nasser telah mencapai kesepakatan baru dengan Inggris dan Persaudaraan Muslim mengkritiknya. Tak lama setelah itu, Pemerintahan Nasser bertindak keras kepada partai itu, menangkap pemimpin-pemimpinnya, termasuk Syed Quthb. Sewaktu ditangkap ia sedang sakit, tetapi pemerintah kolonel Nasser tak peduli.
            Tahun 1964, Persiden Irak Abdul Salam Arief mengunjungi Kairo atas permintaannya Kolonel Naseer membebaskannya dari penjara, tapi menjadikannya tahanan rumah. Setahun kemudian ia kembali ditangkap dengan tujuan berusaha menggulingkan pemerintahan. Bukan hanya dia, tetapi saudaranya Muhammad Quthb, saudara perempuannya Hamida, dan Amin Quthb, serta 20 aktivis lain ditahan. Dari jumlah itu tujuh ribu diantaranya wanita.
            Salah satu bukunya, Ma’alim fi Tariq, yang berisi kritikannya terhadap budaya Barat dan cara hidup mereka, dianggap menghasut massa untuk memberontak pemerintahan. Dalam buku itu dia mengatakan semua pengusaha di dunia sebagai taghut yang selain Allah, karena kekuasaan Allah yang harus ditegakkan. Karena buku ini, ia digantung.[1]
Sayyid Quthb pensyarh ideologi Ikhwan
Quthb muncul sebagai ideolog Ikhwan Muslimin yang paling berpengaruh. Komitmen, kecerdasan, militansi serta gaya bertutur dan tulisannya yang fasih membuatnya menjadi magnet bagi kader dan simpatisan Ikhwanul Muslimin. Sekaligus dalam waktu yang sama, ia sebagai tokoh oposan pemerintah Mesir.
Ia diangkat menjadi editor di Mingguan Ikhwanu Muslimin, dan sebagai Ketua Seksi Penyebaran Dakwah, ia bertugas mempersiapkan berbagai kajian dan studi umum keislaman.
Tahun 1952 terjadilah revolusi Mesir yang menggulingkan raja Farouq. Revolusi ini mendapat dukungan kuat dari Sayyid Quthb, Quthb mengarahkan anggota-anggota Ikhwan, baik dikalangan sipil ataupun militer, untuk mendukung revolusi. Ia bersedia sebagai penasehat Dewan Komando Revolusi dan Bidang Kebudayaan, kemudia menjadi sekretaris bagi lembaga penerbitan perss. Quthb sangat kecewa, karena dikalangan pemerintahan Naseer tidak menerima gagasannya untuk membentuk negara Islam. Quthb dan pera pemimpin Ikhwan Muslimin ditangkap besar-besaran, karena ia dituduh bersekongkol membunuh Naseer, dan dipenjarakan limabelas tahun.   
Pemikiran-Pemikiran Sayyid Quthb di buku Tafsir Fi Dzilalil Qur’an
Dalam pengantar tafsirnya, Quthb mengatakan bahwa hidup dalam naungan Qur’an itu suatu kenikmatan. Sebuah kenikmatan yang sudah diketahui kecuali oleh orang yang melaksanakannya. Suatu kenikmatan yang mengangkat umur (hidup), memberkatinya dan mensucikannya. Quthb merasa telah mengalami kenikmatan hidup di bawah naungan Qur’an, sesuatu yang belum dirasakan sebelumnya.
Tujuan-tujuan yang dituliskan tafsir fi Dzilalil Qur’an menurut al-Khalidi adalah
  1. Menghilangkan jurang yang dalam antara kaum muslimin sekarang dengan al Qur’an, Quthb mengatakan, “Sesungguhnya saya serukan pada para pembaca dzilal, jangan sampai dzilal yang ini yang menjadi tujuan mereka. Tetapi hendaklah ia membaca dzilal agar bisa dekat dengan Qur’an. Agar mereka mengambil Qur’an secara hakiki dan membuang Dzilal ini.
  2. Mengenalkan kepada kaum muslimin pada fungsi amaliyah harakiyyah Al Qur’an, menjelaskan karakternya yang hidup dan bernuansa jihad, memperhatikan kepada mereka mengenai metode Al Qur’an dalam penggerakan dan jihad melawan kejahiliyahan, menggariskan jalan yang mereka lalui dengan mengikuti petunjuknya, menjelaskan jalan yang lurus serta meletakan tangan mereka di atas kunci yang dapat mereka gunakan untuk mengeluarkan perbendaharaan-perbendaharaan yang terpendam.
  3. Membekali orang muslim sekarang ini dengan petunjuk amaliah tertulis menuju ciri-ciri kepribadian Islam yang dituntut, dan ciri-ciri Islam yang Qur’ani.
  4. Mendidik orang Muslim dengan pendidikan Qur’ani yang integral, membangun kepribadian Muslim yang efektif, menjelaskan karakteristik dan ciri-cirinya, dan faktor pembentukan dan kehidupannya.
  5. Menjelaskan masyarakat Islami yang dibentuk oleh Qur’an, mengenalkan asas-asas yang menjadi pijakan masyarakat Islami, menggariskan jalan yang bersifat gerakan dan jihad untuk membangunnya.[2]     

Daftar Pustaka
Hidayat, Nuim, 2005, Sayyid Quthb Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani
Haque, Atiqul, 2007, 100 Pahlawan Muslim yang mengubah Dunia, Jogjakarta: Diglosia
Republika, 9 Agustus 2009
Republika, 19 Agustus 2009


[1]M. Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang mengubah Dunia, (Jogjakarta: Diglosia, 2007), hal. 218
[2]Nuim Hidayat, M.Si, Sayyid Quthb Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 27

No comments:

Post a Comment