SAYYID QUTHB
Pendahuluan
Quthb lahir dengan nama lengkap
Sayyid Quthb Ibrahim Husein asy-Syadzili pada tanggal 9 Oktober 1906 M. (1326
H.) di Musya, sebuah pedesaan yang terletak di dekat kota Asyut, hulu Mesir.
Ayahnya pernah aktif di Partai Nasional pimpinan Musthofa Kamil, hal ini
mungkin yang menanamkan pada diri Quthb kesadaran politik yang tinggi.
Perjalanan intelektual Quthb dimulai
dari desa di mana dia lahir dan dibesarkan. Di bawah asuhan orang tuanya, Quthb
berhasil menghafal Alquran dalam usia relatif dini, 10 tahun. Menyadari bakat
tersebut, orang tuanya memindahkan keluarga ke Hilwan, daerah pinggiran Kairo,
agar Quthub memperoleh kesempatan masuk ke Tajhiziyah “Dar al-‘Ulum” (nama lama
dari Universitas Cairo).
Pembahasan
Pada tahun 1929, Quthb kuliah di Dar
al-‘Ulum dan memperoleh gelar Sarjana Muda di bidang Pendidikan pada tahun
1933, kemudian bekerja sebagai pengawas pada Departemen Pendidikan. Tahun 1949
ia mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat untuk memperdalam pengetahuannya
di bidang Pendidikan selama 20 tahun, tepatnya di Wilson's Teacher's College
Washington dan Stanford University California.
Sekembalinya dari Amerika, Quthb
bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin karena kekagumannya pada Hasan
Al-Banna, pendiri gerakan tersebut. Quthb menjadi tokoh penting dalam kelompok
ini. Pada tahun 1954, Quthb diangkat menjadi Pemimpin Redaksi harian Ikhwanul
Muslimin. Namun, baru dua bulan terbit, harian tersebut dibredel oleh
pemerintahan Gammal Abdul Nasser.
Menurut Quthb, saat itu Ikhwanul
Muslimin menghadapi situasi yang hampir sama dengan situasi masyarakat saat
Islam datang untuk pertama kalinya, yaitu kebodohan tentang akidah Islam dan
jauh dari nilai-nilai etik Islam (jahiliyah). Namun sayangnya, kesucian niat
dan semangatnya dalam memperjuangkan orang banyak mengantarnya ke penjara pada
13 Juli 1955.
Pada tahun 1964 Quthb dibebaskan
atas permintaan Abdul Salam Arif, Presiden Irak, yang mengadakan kunjungan ke
Mesir. Saat itu, menurut informasi Abdul Hakim Abidin, salah seorang sahabatnya,
Abdul Salam meminta Quthb untuk ikut bersamanya ke Irak, tetapi dia menolak
seraya menyatakan, "Ini adalah medan perjuangan yang tidak bisa saya
tinggalkan".
Setahun kemudian (1965) ia kembali
ditangkap. Presiden Nasser menguatkan tuduhannya bahwa Quthb berkomplot untuk
membunuhnya. Berdasarkan UU No. 911 tahun 1966, Presiden mempunyai kekuasaan
untuk menahan siapa pun yang dianggap bersalah.
Sayyid Quthb diadili oleh Pengadilan
Militer pada tanggal 12 April 1966. Tuduhannya sebagian besar berdasarkan
tulisannya, Ma'alim fi ath-thariq, di mana isinya dianggap berupaya
menumbangkan pemerintahan Mesir dengan kekerasan. Kemudian, pada 21 Agustus
1966 Sayyid Quthb bersama Abdul Fattah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy
dinyatakan bersalah dan dihukum mati.
Quthb dihukum gantung bersama dua
orang sahabatnya pada 29 Agustus 1966. Pemerintah Mesir tidak menghiraukan
protes dari Amnesti Internasional yang memandang proses peradilan militer
terhadap Sayyid Quthub sama sekali bertentangan dengan rasa keadilan.
Sejak saat itu Quthb dijuluki sebagai Syahid
bagi kebangkitan Islam, yang rela mengorbankan nyawanya di tiang gantungan.
Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an, Sarana
Dakwah dari Balik Jeruji Penjara
Umej
Bhatia (peneliti di Pusat Studi Timur Tengah, Universitas Harvard, AS), dalam A
Critical Reading of Sayyid Quthb's Qur'anic Exegesis, mengatakan, pada kondisi
sosial dan politik itulah karya-karya Sayyid Quthb tentang pergerakan melawan
penguasa tiran harus dipahami. Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an (Di Bawah Naungan Alquran)
merepresentasikan gagasan-gagasan pergerakan tersebut.
Umej
Bhatia menilai, tafsir Fi Zhilal al-Qur'an menyajikan cara baru dalam
menafsirkan Alquran yang belum pernah dilakukan oleh ulama-ulama klasik. Sayyid
Quthb memasukkan unsur-unsur politik dan ideologi dengan sangat serasi. Boleh
dibilang, tafsir yang satu ini paling unik karena menjadikan Alquran sebagai
pijakan utama untuk melakukan revolusi politik dan sosial.
Tampaknya,
menurut Umej, Sayyid Quthb dipengaruhi oleh dua ulama agung sebelumnya, yakni
Muhammad Abduh dan Rashid Ridho. Tafsir Al-Mannar karya kedua ulama
tersebut lebih memfokuskan penafsiran Alquran dalam konteks sosial masyarakat
ketimbang mengupas makna kata per kata. "Akan tetapi, Sayyid Quthb
selangkah lebih maju daripada kedua pendahulunya itu. Ia berhasil
mengolaborasikan teori-teori sosial Barat ke dalam pesan-pesan agung
Alquran," kata Umej.
Penilaian
serupa juga disampaikan oleh Dr Ahzami Samiun Jazuli, pakar tafsir Alquran dari
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Menurut Ahzami, tafsir
yang ditulis oleh Sayyid Quthb ini merupakan tafsir haraki (tafsir pergerakan)
atau tafsir dakwah. Sang ulama tidak menggunakan manhaj (metode)
penulisan tafsir seperti ulama-ulama terdahulu, misalnya tafsir tahlili (tafsir
analitis) yang memulai penafsiran dari penjelasan kata dalam ayat Al quran.
"Sayyid
Quthb tidak menjelaskan panjang lebar makna kata dalam suatu ayat. Tidak pula
menerangkan secara detail aspek-aspek fiqhiyyah (hukum-hukum fikih)
karena pembahasan semacam itu sudah banyak dikupas dalam kitab-kitab tafsir
klasik," jelas Ahzami.
Alquran
bagi Sayyid Quthb merupakan kitab pedoman hidup yang komprehensif ke arah
kehidupan yang diridhai Allah SWT. Oleh sebab itu, ia menamai tafsirnya
itu Fi Zhilal al-Qur'an supaya umat Islam benar-benar berada dalam
tuntunan dan naungan Alquran.
Tafsir
Fi Zhilal al-Qur'an merupakan hasil dari dinamika akademis, politik, dan
sosial. Ia tidak semata-mata rekreasi intelektual yang mendekati Alquran dari
perspektif ilmu pengetahuan. Namun, juga menggunakan pendekatan atas dasar
pengalaman hidup sang penulis. Tidak mengherankan, kata Ahzami, kalau kitab
tafsir ini berpengaruh besar terhadap umat Islam di seluruh dunia, terutama
mereka yang aktif dalam gerakan dakwah.
Dr
Muchlis Hanafi, ahli tafsir lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, melihat
fenomena tafsir Fi Zhilal al-Qur'an ini dari sudut pandang yang berbeda.
Menurutnya, ada beberapa aspek yang menonjol dalam karya Sayyid Quthb itu. Di
antaranya adalah al-zauq al-adabi (ketinggian nilai sastra). Sayyid
Quthb, menurut Muchlis, menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dengan gaya bahasa
yang sangat indah. Sehingga, punya kekuatan magnetik dan pengaruh yang besar
terhadap pembacanya.
Kelebihan
lainnya, menurut Muchlis, adalah al-wihdah al-maudhu'iyyah (kesatuan
tema). Setiap surat yang ia tafsirkan diawali dengan mukadimah. Dan, mukadimah
itu menjelaskan secara komprehensif isi surah sehingga tampak benang merah dan
kesatuan tema sebuah surah.
Metode
ini bukanlah hal baru dalam tradisi penafsiran Alquran, tetapi Sayyid Quthb
berhasil menggunakannya dengan sangat baik. Saat ini, dapat disaksikan sebuah
tafsir kontemporer yang bernilai tinggi. Namun demikian, tafsir ini tidak
serta-merta lolos dari kritik para pegiat tafsir Alquran.
Dari
segi metodologi, banyak yang menilai bahwa Sayyid Quthb melanggar tata aturan
penafsiran Alquran yang dianut oleh para ulama salaf. Ia terlalu banyak
menggunakan akal daripada merujuk pada Alquran, hadis Nabi SAW, dan tradisi
para sahabat.
Ide-ide
revolusioner Umej Bhatia berpendapat bahwa penjara dan penyiksaan berperan
penting dalam membentuk karakter pemikiran Sayyid Quthb. Umej memakai
istilah prison perspective (perspektif penjara) bagi perspektif Sayyid
Quthb dalam penafsiran Alquran. Yaitu, sebuah cara pandang korban keganasan
rezim otoriter terhadap realitas sosial politik di masanya.
Kepahitan
pengalaman politik Sayyid Quthb mendorongnya menyerukan konsep
hakimiyatullah (kekuasaan hanya milik Allah) sebagaimana diusung oleh Abu
al-'Ala al-Maududi di Pakistan. Hakimiyatullah berarti kekuasaan harus
dikembalikan kepada Allah, bukan dikuasai manusia zalim yang melanggar
hukum-hukum Tuhan. Umat Islam wajib berjihad mengembalikan tata aturan itu
sesuai dengan doktrin Alquran.
Untuk
itu, menurut Sayyid Quthb, perlu ada gerakan At-Thali'ah al-Islamiyah ,
yaitu menyiapkan generasi Muslim baru yang berpegang teguh pada ajaran-ajaran
Allah serta mendidik mereka untuk menjadi pemimpin umat di masa depan. Ide-ide
pergerakan dan perlawanan Sayyid Quthb itu tampak jelas dalam mukadimah
tafsirnya pada surah Al-An'am.
Ia
memaparkan konsep masyarakat ideal sesuai dengan tuntunan Islam; berseru kepada
para juru dakwah untuk konsisten berada di jalan ini; serta menancapkan akidah
agar sistem pemerintahan yang terbentuk kelak tidak melanggar tata aturan yang
ditetapkan Allah SWT. "Orang-orang yang tidak memiliki akidah adalah
pribadi-pribadi jahiliyah. Kejahiliyahan mereka memenuhi akal, pikiran, dan
hati," tegas Sayyid Quthb.
Dalam
pemaparannya tentang tatanan sosial politik yang ideal menurut doktrin Islam,
Sayyid Quthb tidak segan-segan melabeli status 'kafir' kepada para penguasa
zalim atau yang melanggar hukum Allah. Ini mengundang respons beragam dari
banyak kalangan, bahkan dari ulama sendiri.
Dr
Yusuf al-Qardhawi menilai bahwa pemikiran takfir (pengkafiran pada Muslim lain)
dalam karya Sayyid Quthb sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam
Ahlussunnah wal Jamaah yang dianut mayoritas umat Islam di dunia. Pemikiran
ini, tambah Qardhawi, juga tidak mencerminkan pemikiran gerakan Ikhwan
al-Muslimin karena pemikiran takfir sama sekali tidak selaras dengan pemikiran
organisasi itu (RepublikaOnline, 9 Agustus 2009).
Pernyataan
Qardhawi tersebut disanggah sejumlah tokoh Ihkwan al-Muslimin. Menurut mereka,
Sayyid Quthb tidak keluar dari Ahlussunnah wal Jamaah. Semua pemikiran Sayyid
Quthb selaras dengan manhaj Ikhwan al-Muslimin, tidak ada satu pun yang
menyalahi kaidah dan dasar organisasi tersebut. Quthb, menurut mereka, juga
tidak pernah mengafirkan kelompok Islam lain dan tidak pernah mendakwahkan
perlawanan terhadap pemerintahan yang sah (Republika Online, 19 Agustus 2009).
Menawarkan
Pemecahan Problem Umat Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an ditulis oleh Sayyid Quthb
selama kurang lebih 15 tahun, yaitu sejak tahun 1950-an hingga 1960-an. Pada
mulanya, ia memulai menulis tafsirnya itu atas permintaan rekannya, Said
Ramadhan, redaktur majalah Al-Muslimun yang terbit di Kairo dan Damaskus.
Sang
mufasir menyambut baik permintaan itu dan memberi nama rubrik tersebut Fi
Zhilalil Quran. Tulisan pertama yang dimuat adalah penafsiran surah Alfatihah,
kemudian surah Albaqarah. Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Sayyid Quthb
memutuskan menyusun satu kitab tafsir sendiri yang juga ia beri nama Fi
Zhilalil Quran.
Karya
beliau lantas dicetak dan didistribusikan oleh penerbit al-Bab al-Halabi.
Penerbitan pertamanya tidak langsung berjumlah 30 juz, namun tiap satu juz.
Setiap juznya terbit dalam dua bulan sekali. Proses penyempurnaan penafsiran
selanjutnya diselesaikan dalam penjara.
Edisi
pertama dalam bentuk 30 juz diterbitkan pada tahun 1979. Sejak saat itu,
persebarannya meluas hingga mencapai hampir seluruh negara Muslim di dunia.
Umej Bhatia mencatat, kitab tafsir ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Persia, Turki, Urdu, Bengali, Indonesia, dan Melayu.
Di
negara-negara Arab, volume penjualan tafsir Fi Zhilal al-Qur'an bak
kacang goreng. Selama bertahun-tahun, tafsir itu menjadi best seller.
Menurut cerita Syekh Abdullah Azzam, pada pertengahan 1980-an, jika di Lebanon
ada percetakan mulai bangkrut, kemudian pemiliknya mencetak Fi Zhilalill
Quran dan juga buku-buku Sayyid Quthb yang lain, percetakan tersebut selamat
dari kebangkrutan.
Gaya
bahasa dan kualitas penafsiran Sayyid Quthb merupakan daya pikat utama bagi
para pembaca untuk menyelami samudra ilmu Alquran. Di dalamnya tersaji
konsep-konsep Islam modern tentang jihad, masyarakat jahiliyyah dan Islam,
serta ummah.
Konsep-konsep
tersebut menumbuhkan kesadaran baru akan gerakan sosial politik berdasarkan
doktrin Islam. Tak ayal, banyak peneliti Barat yang melabeli Sayyid Quthb
sebagai pengusung radikalisme, ekstremisme, fundamentalisme, atau
atribut-atribut yang menjurus pada nuansa kekerasan lainnya.
Tentang
konsep umat, Sayyid Quthb mengutarakan bahwa pembentukan pribadi umat harus
berdasarkan keimanan yang kokoh, optimisme pada rahmat dan pertolongan Allah,
serta rasa percaya diri sebagai umat terbaik yang diutus Allah di muka bumi
ini. Segala permasalahan umat, menurutnya, harus dicarikan solusinya dari kitab
Allah SWT dan sunah nabi.
"Keimanan
berimplikasi pada sikap pasrah dan menyerah kepada hukum-hukum Allah. Jiwa-jiwa
yang tulus akan menerima segala sistem hukum dan perundangan Islam secara
sukarela. Tidak terdetik satu penentangan pun sejak aturan tersebut
dikeluarkan. Juga, tak ada sedikit pun keengganan untuk melaksanakannya ketika
hukum itu diterima," kata Sayyid Quthb dalam mukadimah surat Al-An'am.
Secara
umum, tema yang ditekankan dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur'an meliputi gagasan
tentang hubungan antarsesama manusia. Allah SWT, menurutnya, menghendaki sebuah
bangunan sosial yang harmonis berdasarkan keimanan dan cinta kasih. Konsep ini
menghindarkan terbentuknya kekuasaan tiran yang menebarkan kebencian,
kebodohan, dan kekafiran.
Islam adalah satu-satunya solusi
nyata untuk materialisme sejati
Saat
ia berada di Amerika Serikat, Syed Quthb mengamati pengaruh buruk materialisme
yang sebenarnya, marah terhadap kondisi tersebut sehingga berpikir kepada siapa
ia memahami masalah dari Islam. Dia segera yakin sepenuhnya kalau hanya Islam
satu-satunya yang bisa memberi solusi nyata untuk materialisme sejati itu dan
memandu ummat manusia menuju negara yang makmur.
Sekembalinya dari Amerika Serikat,
Syed Quthb mulai mempelajari maksud dan tujuan Ikhwanul Muslimin, dan
pada tahun 1945 dia mendaftarkan diri menjadi anggotanya. Selama Perang Dunia
II, Inggris sudah berjanji akan memberi kemerdekaan kepada Mesir. Ikhwanul
Muslimin segera menagih janji itu setelah perang, mendesak Inggris keluar
dari Mesir. Masalah ini membuat popularitas ikhwan meningkat pesat,
sehingga dalam dua tahun anggota mereka naik menjadi 2,5 juta. Keanggotaan
umum, pendukung, dan simpatisan mereka juga bertambah beberapa kali. Inggris
dan kaki tangannya, yakni pemerintah mesir menjadi cemas dan kemudian bersekutu
menghadapi tantangan Persaudaraan Muslim.
Pada
12 Maret 1950, pendiri dan Ketua Persaudaraan Muslim Hasan Al-Banna menjadi
martir dan organisasi itu dilarang. Tahun 1952 diberlakukan kondisi darurat di
Mesir dan Persaudaraan Muslim dilegitimasi. Dr. Hasan Al Hudaibi menjadi
ketuanya dan Syed Quthb menjadi anggota komite pusat. Dia bertugas menyebar
cita-cita partai, dan berkat usahanya partai ini menyebar pesat.
Tahun
1954, Quthb menjadi redaktur majalah Ikhwan al Muslimin, dinamai sesuai partai
yang mengelolanya. Setelah enam bulan, Kolonel Naser melarang penerbitan
majalah itu karena pemerintah mesir oleh kolonel Nasser telah mencapai
kesepakatan baru dengan Inggris dan Persaudaraan Muslim mengkritiknya. Tak lama
setelah itu, Pemerintahan Nasser bertindak keras kepada partai itu, menangkap
pemimpin-pemimpinnya, termasuk Syed Quthb. Sewaktu ditangkap ia sedang sakit,
tetapi pemerintah kolonel Nasser tak peduli.
Tahun
1964, Persiden Irak Abdul Salam Arief mengunjungi Kairo atas permintaannya
Kolonel Naseer membebaskannya dari penjara, tapi menjadikannya tahanan rumah.
Setahun kemudian ia kembali ditangkap dengan tujuan berusaha menggulingkan
pemerintahan. Bukan hanya dia, tetapi saudaranya Muhammad Quthb, saudara
perempuannya Hamida, dan Amin Quthb, serta 20 aktivis lain ditahan. Dari jumlah
itu tujuh ribu diantaranya wanita.
Salah
satu bukunya, Ma’alim fi Tariq, yang berisi kritikannya terhadap budaya
Barat dan cara hidup mereka, dianggap menghasut massa untuk memberontak
pemerintahan. Dalam buku itu dia mengatakan semua pengusaha di dunia sebagai taghut
yang selain Allah, karena kekuasaan Allah yang harus ditegakkan. Karena
buku ini, ia digantung.[1]
Sayyid Quthb pensyarh ideologi
Ikhwan
Quthb
muncul sebagai ideolog Ikhwan Muslimin yang paling berpengaruh. Komitmen,
kecerdasan, militansi serta gaya bertutur dan tulisannya yang fasih membuatnya
menjadi magnet bagi kader dan simpatisan Ikhwanul Muslimin. Sekaligus dalam
waktu yang sama, ia sebagai tokoh oposan pemerintah Mesir.
Ia
diangkat menjadi editor di Mingguan Ikhwanu Muslimin, dan sebagai Ketua Seksi
Penyebaran Dakwah, ia bertugas mempersiapkan berbagai kajian dan studi umum
keislaman.
Tahun
1952 terjadilah revolusi Mesir yang menggulingkan raja Farouq. Revolusi ini
mendapat dukungan kuat dari Sayyid Quthb, Quthb mengarahkan anggota-anggota
Ikhwan, baik dikalangan sipil ataupun militer, untuk mendukung revolusi. Ia
bersedia sebagai penasehat Dewan Komando Revolusi dan Bidang Kebudayaan,
kemudia menjadi sekretaris bagi lembaga penerbitan perss. Quthb sangat kecewa,
karena dikalangan pemerintahan Naseer tidak menerima gagasannya untuk membentuk
negara Islam. Quthb dan pera pemimpin Ikhwan Muslimin ditangkap besar-besaran,
karena ia dituduh bersekongkol membunuh Naseer, dan dipenjarakan limabelas tahun.
Pemikiran-Pemikiran Sayyid Quthb di
buku Tafsir Fi Dzilalil Qur’an
Dalam pengantar tafsirnya, Quthb
mengatakan bahwa hidup dalam naungan Qur’an itu suatu kenikmatan. Sebuah
kenikmatan yang sudah diketahui kecuali oleh orang yang melaksanakannya. Suatu kenikmatan
yang mengangkat umur (hidup), memberkatinya dan mensucikannya. Quthb merasa
telah mengalami kenikmatan hidup di bawah naungan Qur’an, sesuatu yang belum
dirasakan sebelumnya.
Tujuan-tujuan yang dituliskan tafsir
fi Dzilalil Qur’an menurut al-Khalidi adalah
- Menghilangkan jurang yang dalam antara kaum muslimin sekarang dengan al Qur’an, Quthb mengatakan, “Sesungguhnya saya serukan pada para pembaca dzilal, jangan sampai dzilal yang ini yang menjadi tujuan mereka. Tetapi hendaklah ia membaca dzilal agar bisa dekat dengan Qur’an. Agar mereka mengambil Qur’an secara hakiki dan membuang Dzilal ini.
- Mengenalkan kepada kaum muslimin pada fungsi amaliyah harakiyyah Al Qur’an, menjelaskan karakternya yang hidup dan bernuansa jihad, memperhatikan kepada mereka mengenai metode Al Qur’an dalam penggerakan dan jihad melawan kejahiliyahan, menggariskan jalan yang mereka lalui dengan mengikuti petunjuknya, menjelaskan jalan yang lurus serta meletakan tangan mereka di atas kunci yang dapat mereka gunakan untuk mengeluarkan perbendaharaan-perbendaharaan yang terpendam.
- Membekali orang muslim sekarang ini dengan petunjuk amaliah tertulis menuju ciri-ciri kepribadian Islam yang dituntut, dan ciri-ciri Islam yang Qur’ani.
- Mendidik orang Muslim dengan pendidikan Qur’ani yang integral, membangun kepribadian Muslim yang efektif, menjelaskan karakteristik dan ciri-cirinya, dan faktor pembentukan dan kehidupannya.
- Menjelaskan masyarakat Islami yang dibentuk oleh Qur’an, mengenalkan asas-asas yang menjadi pijakan masyarakat Islami, menggariskan jalan yang bersifat gerakan dan jihad untuk membangunnya.[2]
Daftar Pustaka
Hidayat,
Nuim, 2005, Sayyid Quthb Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, Jakarta:
Gema Insani
Haque,
Atiqul, 2007, 100 Pahlawan Muslim yang mengubah Dunia, Jogjakarta:
Diglosia
Republika, 9 Agustus 2009
Republika, 19 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment